Senin, 23 Februari 2015

Makhluk Yang Mulia, Makhluk Yang Bersyukur


Allah SWT telah berkehendak menciptakan kita dari tiada menjadi ada, dari setetes air yang hina menjadi makhluk yang mulia. Lalu Dia memilih kita untuk menjadi manusia bukan sebagai tumbuhan atau hewan. Sebagai manusia, ditetapkan dalam ketentuannya kita menjadi wujud yang paling sempurna dibanding seluruh ciptaan, “fii ahsani taqwim”. Kemudian diangkatnya kita menjadi khalifah, menempati puncak stupa kemuliaan dan mengungguli semua hirarki kemakhlukan, bahkan para malaikat sekalipun tunduk penuh hormat kepada sang khalifah.
Serasa sejarah penciptaan ini hanya terfokus kepada kita dan untuk kita. Namun sadarkah kita, bahwa akan tiba suatu masa kelak semua yang diberikan kepada kita akan dimintai pertanggung jawabannya masing-masing.
Maka sebagai manusia bersyukurlah, karena kita dibekali kodrat dasar “fitrah kehanifan” untuk selalu condong pada kebenaran dan gandrung pada kemuliaan. Fitrah ini menjadi radar alami bagi kita untuk dapat menemukan jalan pulang kembali sampai ke tempat tujuan. Karena hidup adalah pergi untuk pulang kembali. Setiap orang pasti akan pulang ke rumah, rindu mudik ke kampung halaman, rindu bertemu dengan asal-muasalnya.
Dari semua tema kerinduan pulang, maka yakinlah bahwa kita semua akan kembali ke tempat yang sama, tempat dari mana kita berasal, yakni kepada asal-usul yang sejati. Kita setiap detik pada hakikatnya berproses dalam lingkaran “innalillahi wainna ilaihi raji’un”, dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kelak kita akan kembali pulang.
Nikmat yang mana lagi yang hendak kita ingkari? Sebagai ciptaan, manusia merupakan mahakarya agung Sang Pencipta. Allah memberikan kita kelengkapan indera yang mampu merespon lingkungan, sehingga kita dapat memilih sesuatu berdasarkan keinginan bukan keterpaksaan. Dengan indera itu, dunia dapat dikecap menjadi suatu wahana yang begitu memikat penuh warna dan berjuta rasa.
Allah SWT memberi sepasang mata yang indah kepada kita, sehingga bisa kita saksikan pagelaran keindahan alam. Allah juga telah memberikan kita telinga, sehingga kita memiliki instrumen untuk meraih ilmu dan cahaya kearifan. Padahal sangat mudah juga bagi Allah menghendaki dunia ini menjadi sunyi senyap seketika.
Allah telah memberikan kita lidah dan pita suara yang bekerjasama menerbitkan suara dan melahirkan tatanan kata-kata, menjalin menjadi kalimat dan bahasa. Padahal mudah juga bagi Allah untuk membuat mulut kita terkunci tidak bisa berkata-kata, sehingga tak ada lagi puisi indah dan senandung lagu merdu.
Seharusnya sebagai manusia kita bersyukur, karena kita diberikan susunan otak yang kompleks, dengan lapisan kulit terluar otak “neokorteks” yang menghadiahkan kecerdasan yang tiada tara. Bersama neokorteks, kita memiliki “pisau analisa” untuk menilai mana yang dianggap baik dan benar, menggagas ide, berabstraksi ke masa lalu atau merekayasa rancangan masa depan, merenungkan hal-hal baru dan semua kemampuan fantastis lain yang menghantarkan kita mampu menembus “batasan-batasan hidup”. Allah telah membuat kita cerdas, tidak menjadi orang yang hilang ingatan dimensia. Padahal amat mudah bagi-Nya menghapus memory yang kita miliki, sehingga kita tak ubahnya anak bayi atau orangtua renta yang telah pikun tak berdaya.

Kita memang sungguh beruntung, dikaruniakan kehidupan yang sangat indah. Sekalipun dalam hidup ini kita tidak memiliki saham sedikit saja, atas belimpahan anugerah yang kita miliki, namun kita telah diangkat oleh Allah sebagai khalifah untuk mengelola dan menikmati kekayaan alam semesta ini. Maka nikmat yang mana lagi yang hendak kita dustakan? [annuurmagz/tabligh]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar