Senin, 26 Mei 2014

DIBALIK “KEKUFURAN” DAKWAH MUHAMMADIYAH



DIBALIK “KEKUFURAN” DAKWAH MUHAMMADIYAH
Oleh: Wahyudi Iqbalul Abror (mantan Ketua IMM Komisariat Tawangalun – Univ. Jember)

Semenjak Muhammadiyah didirikan melalui Deklarasi Malioboro, pada tanggal 8 November 1912, berbagai kritik tajam banyak bermunculan berkaitan dengan ideologi gerakan Muhammadiyah. Banyak kalangan pada waktu itu mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah adalah sebuah gerakan Kristenisasi halus. Senada diperlembut oleh Subhan Mas dalam bukunya “Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam,… adalah gerakan islam “protestan”. Disadari, dalam sebuah proses Ijtihadi yang dilakukan oleh Muhammadiyah, tak ubahnya sebuah “pengkufuran” diri dalam berubudiyah guna mencapai derajat yang lebih asketis. Kekufuran-kekufuran yang dilakukan Muhammadiyah terlihat melalui kepeloporannya dalam menjalankan sholat dengan memakai dasi, celana atau produk-produk budaya western lainnya, yang pada waktu itu masih dianggap keras oleh kalangan besar masyarakat kita sebagai penampilan yang di-Haram-kan. Entah didasarkan pada hukum sosiologis atau apa, yang pasti jangan karena kebiasaan indra kita melihat kemudian dijadikan dalih untuk bersikap.
Lemahnya Muhammadiyah dalam menyampaikan gagasan pembaharuannya (Tajdid) berimbas kedalam misconstruct masyarakat budaya saat itu. Dianggap kehadiran Muhammadiyah merupakan gayung untuk menguras habis segala “budaya islam” dan mengisinya kembali dengan metode-metode baru (westernisasi). Kesalah pahaman inilah yang kemudian berdampak kepada psikologi dakwahnya. Jeratan-jeratan animisme maupun dinamisme begitu hebatnya sehingga Muhammadiyah begitu sulit untuk masuk kedalam kalangan “bawah”. Padahal Ahmad Dahlan, KH. Didalam sebuah perenungan theology Al-Maunnya memiliki cita untuk mengangkat kemiskinan, kebodohan, atau kompleksitas dari seluruh permasalahan yang notabenenya lebih banyak menjangkiti kaum proletar.
Dan dakwah mulia Muhammadiyah pun kian hari semakin rumit saja. Kurang optimalnya Muhammadiyah untuk memasuki ranah bawah, menjadikan tenda besar ini harus berkali-kali melakukan revitalisasi dakwah. Terlihat disela-sela keteguhan Muhammadiyah, terdapat banyak kebimbangan dari arah gerakan dakwahnya. Terbukti disaat bangsa kita sudah semakin pintar, Organisasi yang lain juga sudah semakin “liberal” dalam menyikapi dan menjauhi hal-hal yang bernafaskan “klasik” (kultur), Muhammadiyah justru akan terjebak dalam sebuah orientasi dakwah yang banyak bercampur dengan kejumudan. Namun itu sudah menjadi konsekwensi pilihan dakwahnya, yang jelas usaha untuk meluruskan praktek “ibadah” maupun muamalah yang masih bercampur dengan Tabligh, Bid’ah maupun Churofat (TBC) tetap harus diupayakan. Karena niat baik “tidak bisa” menghalalkan yang haram.
Melihat lambanya gerak dakwah Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, menyatakan bahwa Muhammadiyah harus kembali melakukan percepatan ulang yaitu dengan melaksanakan “kekufuran”, atau rasionalisasi agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Max Weber akan perkembangan sejarah yang lebih bergerak kearah rasionalisasi.  Nyata ini dapat kita lihat melalui model-model dakwah Wali Songo dengan sosiologi wayangnya. Asket-asket (Wali Songo:red) ini mencoba untuk menyampaikan melalui gambaran pesan-pesan moral dalam berislam. Cara-cara inilah yang Weber katakan sebagai pergerakan rasionalisasi.   
Dalam sebuah Proses Al-ijtihadi li Tajdidi, yaitu pencarian kebenaran demi perwujudan tingkat spiritual beragama yang lebih tinggi (asketis), sering kali jati diri akan terkorbankan. Dimaklumi melihat banyaknya tafsir-tafsir gerakan dalam berIslam, seperti kita ketahui munculnya gerakan islam konservatif, fundamentalis, sekulerisme, modernis, dan juga protestanis islam, disinilah yang kemudian memunculkan benturan klaim-klaim kebenaran, seperti pengkafiran dan lainnya. Bukan malah dijadikan sebagai rahmat untuk ber-Fastabiqul khairat. Ikhtilaf inilah yang kemudian terasa sah-sah saja kalau diawal kelahiran Muhammadiyah klaim-klaim yang menyimpang pun ditujukan kepadanya.

Namun dibalik “kekufuran” Muhammadiyah itulah, sebenarnya lebih jauh menyuarakan kemurnian dakwah. Tidak jarang Muhammadiyah melakukan penetrasi kepada aplikasi ibadah yang masih terparasitik oleh benalu takhayul, bid’ah, dan Khurofat. Dari sinilah pesan Amar Ma’ruf Nahi Munkarnya perlu lebih dipahami sebagi landasan dalam segala tindakannya dan bukan semata-mata membesarkan jumlah masa. Sikap Subjektif-Objektif harus kita akui kebenarannya menuju frame pemikiran objectif -konstruktif dalam sebuah komitmen sine quo non. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar