DIBALIK “KEKUFURAN” DAKWAH MUHAMMADIYAH
Oleh:
Wahyudi Iqbalul Abror (mantan Ketua IMM Komisariat Tawangalun – Univ. Jember)
Semenjak
Muhammadiyah didirikan melalui Deklarasi Malioboro, pada tanggal 8 November 1912,
berbagai kritik tajam banyak bermunculan berkaitan dengan ideologi gerakan
Muhammadiyah. Banyak kalangan pada waktu itu mengatakan bahwa kelahiran
Muhammadiyah adalah sebuah gerakan Kristenisasi halus. Senada diperlembut oleh
Subhan Mas dalam bukunya “Muhammadiyah Pintu
Gerbang Protestanisme Islam,… adalah gerakan islam “protestan”. Disadari,
dalam sebuah proses Ijtihadi yang dilakukan oleh Muhammadiyah, tak ubahnya
sebuah “pengkufuran” diri dalam berubudiyah guna mencapai derajat yang lebih
asketis. Kekufuran-kekufuran yang dilakukan Muhammadiyah terlihat melalui
kepeloporannya dalam menjalankan sholat dengan memakai dasi, celana atau
produk-produk budaya western lainnya, yang pada waktu itu masih dianggap keras
oleh kalangan besar masyarakat kita sebagai penampilan yang di-Haram-kan. Entah didasarkan pada hukum
sosiologis atau apa, yang pasti jangan karena kebiasaan indra kita melihat
kemudian dijadikan dalih untuk bersikap.
Lemahnya
Muhammadiyah dalam menyampaikan gagasan pembaharuannya (Tajdid) berimbas
kedalam misconstruct masyarakat
budaya saat itu. Dianggap kehadiran Muhammadiyah merupakan gayung untuk
menguras habis segala “budaya islam” dan mengisinya kembali dengan
metode-metode baru (westernisasi). Kesalah pahaman inilah yang kemudian
berdampak kepada psikologi dakwahnya. Jeratan-jeratan animisme maupun dinamisme
begitu hebatnya sehingga Muhammadiyah begitu sulit untuk masuk kedalam kalangan
“bawah”. Padahal Ahmad Dahlan, KH. Didalam sebuah perenungan theology Al-Maunnya
memiliki cita untuk mengangkat kemiskinan, kebodohan, atau kompleksitas dari
seluruh permasalahan yang notabenenya lebih banyak menjangkiti kaum proletar.
Dan
dakwah mulia Muhammadiyah pun kian hari semakin rumit saja. Kurang optimalnya Muhammadiyah
untuk memasuki ranah bawah, menjadikan tenda besar ini harus berkali-kali
melakukan revitalisasi dakwah. Terlihat disela-sela keteguhan Muhammadiyah,
terdapat banyak kebimbangan dari arah gerakan dakwahnya. Terbukti disaat bangsa
kita sudah semakin pintar, Organisasi yang lain juga sudah semakin “liberal”
dalam menyikapi dan menjauhi hal-hal yang bernafaskan “klasik” (kultur),
Muhammadiyah justru akan terjebak dalam sebuah orientasi dakwah yang banyak bercampur
dengan kejumudan. Namun itu sudah menjadi konsekwensi pilihan dakwahnya, yang
jelas usaha untuk meluruskan praktek “ibadah” maupun muamalah yang masih
bercampur dengan Tabligh, Bid’ah maupun Churofat (TBC) tetap harus diupayakan. Karena
niat baik “tidak bisa” menghalalkan yang
haram.
Melihat
lambanya gerak dakwah Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, menyatakan bahwa
Muhammadiyah harus kembali melakukan percepatan ulang yaitu dengan melaksanakan
“kekufuran”, atau rasionalisasi agama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Max
Weber akan perkembangan sejarah yang lebih bergerak kearah rasionalisasi. Nyata ini dapat kita lihat melalui
model-model dakwah Wali Songo dengan sosiologi wayangnya. Asket-asket (Wali Songo:red) ini mencoba untuk menyampaikan melalui
gambaran pesan-pesan moral dalam berislam. Cara-cara inilah yang Weber katakan
sebagai pergerakan rasionalisasi.
Dalam
sebuah Proses Al-ijtihadi li Tajdidi,
yaitu pencarian kebenaran demi perwujudan tingkat spiritual beragama yang lebih
tinggi (asketis), sering kali jati diri akan terkorbankan. Dimaklumi melihat
banyaknya tafsir-tafsir gerakan dalam berIslam, seperti kita ketahui munculnya gerakan
islam konservatif, fundamentalis, sekulerisme, modernis, dan juga protestanis
islam, disinilah yang kemudian memunculkan benturan klaim-klaim kebenaran,
seperti pengkafiran dan lainnya. Bukan malah dijadikan sebagai rahmat untuk
ber-Fastabiqul khairat. Ikhtilaf
inilah yang kemudian terasa sah-sah saja kalau diawal kelahiran Muhammadiyah klaim-klaim
yang menyimpang pun ditujukan kepadanya.
Namun
dibalik “kekufuran” Muhammadiyah itulah, sebenarnya lebih jauh menyuarakan
kemurnian dakwah. Tidak jarang Muhammadiyah melakukan penetrasi kepada aplikasi
ibadah yang masih terparasitik oleh benalu takhayul, bid’ah, dan Khurofat. Dari
sinilah pesan Amar Ma’ruf Nahi Munkarnya perlu lebih dipahami sebagi landasan
dalam segala tindakannya dan bukan semata-mata membesarkan jumlah masa. Sikap
Subjektif-Objektif harus kita akui kebenarannya menuju frame pemikiran objectif
-konstruktif dalam sebuah komitmen sine
quo non.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar