Dr.
H. Shabah S.M. Syamsi, MA. (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu sekalian melaksanakan amanah
kepada
pemiliknya. Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS.
An-Nisa [4] : 58)
Tahun
2014 dianggap sebagai tahun kepemimpinan nasional. Pemilu Legislatif, 9 April
2014 maupun Pemilu Presiden dan Wakilnya 9 Juli 2014 semakin dekat. Segala
persiapan dilakukan untuk menyukseskannya. Hampir semua informasi dalam
berbagai media terfokus pada masalah pemilu. Tenaga dan seluruh kekuatan setiap
partai politik dikerahkan untuk memenangi pemilu tersebut. Terjadilah suasana
persaingan yang begitu ketat. Masing-masing mempromosikan bahwa pemimpin dari
partai dan golongannya yang paling baik dan layak dipilih. Persaingan itu tak
ayal terkadang menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Upaya pencitraan, black campaign, pembunuhan karakter
seringkali dimunculkan. Rakyat jelata bahkan dibuat bingung siapa seharusnya
yang mereka pilih.
Al-Qur’an
menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk pada makna pemimpin dan
kepemimpinan, seperti: (1) Imam (yang
terdepan), disebutkan sebanyak 7 kali, (2) khalifah
(pengganti, penerus) disebutkan sebanyak 2 kali, (3) sulthan (penguasa) disebutkan sebanyak 37 kali, (4) Wali
dan awliya’ (pelindung, penolong)
disebutkan sebanyak 40 kali, (5) Hakim,
hakim dan hukm (pemutus),
disebutkan sebanyak 170 kali.
Sang
pemimpin adalah imam (yang terdepan)
dalam berbagai hal, menjadi seorang visioner dan teladan bagi amsyarakatnya,
yang diikuti dan dianut dalam meraih kejayaan. Pemimpin itu berposisi di depan
(amam) sebagaimana layaknya ketika
menjadi imam shalat. Dia adalah induk (umm)
yang menjadi pusat bagi seluruh pergerakan bangsa (ummah). Nabi Ibrahim a.s meohon kepada Allah agar menjadi imam (pemimpin) tidak hanya dirinya tapi
juga keturunannya. Namun Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan hanya layak
didapat oleh orang-orang adil bukan orang-orang zalim.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji
Tuhannya dengen beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”.
Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (QS.
Al-Baqarah [2] : 124)
Ibad al-Rahman (para
hamba Allah) adalah aimmah (jamak
dari imam, terdepan) bagi orang-orang
bertaqwa.
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan
kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa”. (QS. Al-Furqan [25] : 74)
Sang
pemimpin adalah khalifah (pengganti
dan penerus), pengganti bagi pemimpin sebelumnya dan meneruskan perjuangan bagi
keberlangsungan kemajuan. Pemimpin bukan perusak hasil karya pendahulu,
merendahkan dan menghinakan prestasi-prestasi yang telah diraih. Pada sang
pemimpin dibutuhkan kreasi dan inovasi disamping upaya melestarikan yang sudah
baik. Al-muhafadhah ala al-qadim
al-shahih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang
baik dan emngambil yang baru yang lebih baik). Adam dan keturunannya diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi agar
menegnal nama-nama, mengembangkan, mengatur dan memimpin alam raya dan isinya
agar lestari dan dapat berkembang menjadi peradaban mulia. (QS. Al-Baqarah [2]
: 30-31). Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah di bumi, agar memimpin manusia dengan benar.
“Nabi Daud, sesungguhnya Kami menjadikan
kamu khalifah (penerus) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS. Shad [38] : 26)
Pemimpin
adalah sulthan (penguasa) yang
memiliki kekuatan untuk melindungi orang-orang yang dikuasai, keperkasaan untuk
menolong orang-orang lemah, dan kekuasaan untuk kemakmuran bangsanya. Hal itu
dapat dilihat komitmen Rasulullah saw, ketika berhijrah ke madinah. Dalam do;anya
beliau memohon agar menjadi sang penguasa yang menolong (altruis), bukan sang penguasa yang mementingkan diri sendiri (egois).
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, masukkanlah
aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang
benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS.
Al-Isra’ [17] : 80)
Pemimpin
itu adalah wali (pelindung, penolong)
yang membawa kepada sinar terang, mampu memberikan pencerahan bagi kemajuan,
mampu mengeluarkan masyarakat dari keterpurukan dan kesengsaraan.
“Allah pelindung orang-orang yang beriman;
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan
mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 257)
Pemimpin
itu siap memimpin dan siap dipimpin. Ketika memimpina dia menunjukkan
kemampuannya dalam meimpin; memerintah yang ma’ruf, mencegah kemunkaran,
menyelaraskan hubungan vertikal dan horisontal, dan taat pada hukum. Ketika
habis masa jabatannya, dia siap dipimpin oleh penerusnya dengan tetap
memberikan dukungan, nasehat dan bimbingan agar lebih maju.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9] : 71)
Memilih
Pemimpin
Ada isyarat-isyarat penting dalam Al-Qur’an agar negara jangan
dibiarkan tanpa pemimpin. Dalam Al-Qur’an, ada prinsi-prinsip penting yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam memilih pemimpin, seperti: prinsip al-adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran terhadap mandat), al-musawat (kesamaan). Ada pula beberapa
hadits yang mengisyaratkan pentingnya pembentukan kepemimpinan atau
pemerintahan, antara lain sanda rasulullah yang mengatakan “Bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka hendaknya mereka
mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah yang lain: “Tidak
dihalalkan bagi tiga orang yang sedang berada di suatu tempat di bumi kecuali
mereka mengangkat salah satu di antara mereka untuk menjadi pemimpin” (HR.
Ahmad). Sekecil apapun jumlah komunitas manusia, maka disana harus ada
kepemimpinan yang berkuasa atas mereka, supaya komunitas tersebut dapat hidup
teratur sesuai dengan aturan-aturan yang telah mereka sepakati. Kepemimpinan
itu menjadi penting, sekalipun itu berlaku tiran.
Ibn Taimiyyah menjelaskan betapa kepemimpinan itu penting, dan
oleh karenanya harus diupayakan agar proses pemilihannya dilakukan secara
benar. Dijelaskan bahwa ada beberapa perintah agama yang tidak mungkin dapat
terlaksana dengan baik tanpa adanya pemimpin yang baik. Perintah-perintah
seperti mengumpulkan dan membagikan zakat, mengadili tindak kejahatan,
menerapkan perintah jihad, dan lain-lain tidak akan efektif tanpa adanya
kekuatan dari penguasa politik yang baik. Banyak sekali perintah agama yang
hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kekuasaan pemimpin yang baik.
Memilih pemimpin yang benar menjadi suatu kewajiban, karena ia
merupakan sarana untuk menegakkan terlaksananya kewajiba-kewajiban agama. Oleh
karena itu, Ibn Taimiyyah memandang pemilihan kepemimpinan suatu negara sebagai
kewajiban agama yang paling agung (min
a’dham wajibat al-din), sebab terlaksananya kewajiban-kewajiban agama
sangat tergantung pada tegaknya kekuasaan itu. Dari pernyataannya tersebut, Ibn
Taimiyyah sangat mengharapkan agar agama dan kekuasaan itu dapat saling
mendukung. Nilai-nilai etik agama diharapkan dapat berlaku secara efektif untuk
mengontrol kekuasaan, sehingga di dalam negara tidak terjadi sebuah hegemoni
kekuasaan yang tiranik. Sebagaimana sebaliknya diharapkan agar kekuatan besar
yang dimiliki negara digunakan sebesar-besarnya untuk mendukung penerapan
ajaran-ajaran agama. Kekuasaan negara yang demikian akan tercipta ketika ada
pemimpin yang baik.
Kepemimpinan yang terjadi tanpa pilihan, atau dipilih tanpa
partisipasi mayoritas, akan mendatangkan ketidakharmonisan antar warga bangsa.
Membangun kekuasaan negara sejatinya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
yang sempurna. Kesejahteraan itu tidak mungkin dicapai, kecuali bila ada
kerjasama dan saling tolong-menolong untuk mendapatkan kesejahteraan itu.
Kekuasaan itu berfungsi untuk merealisasikan tujuan-tujuan bersama dalam mendapatkan
manfaat serta mencegah segala bentuk bahaya. Maka di dalamnya ahrus ada
kerjasama yang erat antara para penguasa dan rakyat untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Ada pemimpin yang adil untuk mengatur kepentingan
rakyat, dan ada rakyat yang loyal kepada pemimpin terpilih dengan kesadaran
tinggi dalam menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati. Harmonisasi
kekuasaan negara itu seperti tubuh yang terdiri dari beberapa anggota badan,
ada kepala dan ada badan. Tubuh tidak akan sempurna tanpa kepala dan begitu
pula sebaliknya.
Kriteria
Pemimpin Ideal
Dalam pandangan para ulama klasik, pemimpin itu harus memenuhi
berbagai kriteria. Al-Farabi (870-950) menjelaskan bahwa seorang pemimpin
negara yang diangkat harus memiliki 12 syarat, yaitu: mempunyai anggota badan
yang sempurna, mempunyai daya nalar yang baik, daya ingat yang kuat, cerdas dan
intelegensia tinggi, daya penyampaian yang baik, cinta ilmu dan senang
mengajar, menghindari hal-hal yang dilarang dalam hal makanan dan minuman, suka
berderma, berjiwa besar, zuhud, adil dan berani menegakkan kebenaran.
Persyaratan itu harus dilengkapi dengan kemampuan mencapai al-sa’adah al-qushwa (kebahagiaan tertinggi), dengan cara
mempersatukan semua persyaratan tersebut dengan aql al-fa’al (akal pikiran aktif).
Ibn Abi Rabi mencantumkan ada enam syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang yang hendak menjadi kepala negara, yaitu: berasal dari keturunan
raja, memiliki kemauan yang keras, kuat mentalnya dan mampu mengendalikan
emosi, mempunyai pendirian yang teguh, tabah dalam menghadapi tantangan,
memiliki ekonomi yang kuat, memiliki pendukung setia.
Al-Mawardi (995-1059) memberikan 7 syarat yang harus dimiliki
bagi kepala negara, yaitu: 1) adil, 2) mempunyai ilmu luas sehingga mampu
melakukan ijtihad, 3) sehat inderawi; pendengaran, penglihatan dan lisan, 4)
sehat anggota badan dan tidak cacat, 5) wawasan yang memadai untuk mengatur
kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum, 6) berani dalam melindungi
rakyat dan menentang musuh, 7) berasal dari keturunan Quraisy
Al-Ghazali (1058-1111) memberikan sepuluh persyaratan yang
harus dipenuhi seorang kepala negara. Persyaratan itu adalah: dewasa, akal yang
sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, sehat pendengaran dan
penglihatan, kekuasaan yang nyata, yakni adanya perangkat yang memadai seperti
adanya alat negara, hidayah, yakni adanya daya pikir dan perencanaan yang kuat,
berilmu dan wara;, yakni tidak berbuat hal-hal yang terlarang.
Namun Ibn Taimiyyah memandang lebih sederhana tentang
kualifikasi calon pemimpin. Karena dianggap kualifikasi-kualifikasi seperti
yang disebut apara ulama sebelumnya terlalu sulit untuk diwujudkan. Ibn
Taimiyyah ingin berpikir praktis dan realistis dalam hal ini. Baginya pemimpin
tidak sekedar dipilih kemudian dilantik (dibai’at), tapi harus dipilih dan
disepakati oleh mayoritas rakyat. Umar Ibn Khatthab berkata: “Siapa yang membai’at seseorang tanpa
musyawarah dari kaum muslimin, maka orang itu tidak dibai’at dan dia tidak
membai’at. Mereka itu sah untuk dibunuh.” Bagi Ibn Taimiyyah, kriteria
utama seorang pemimpin adalah amanah
(kejujuran terhadap mandat) dan quwwah
(kekuatan, kemampuan).
Kekuasaan adalah sebuah amanah
yang harus ditegakkan. Pemimpin sebuah negara, atau peminpin-pemimpin lain yang
lebih rendah tingkatannya, harus dapat menyampaikan amanat itu kepada
pemiliknya. (QS. An-Nisa’ [4]:58). Pemimpin hendaknya dipilih karena kejujuran,
dan dapat mengemban amanah tersebut. Rasulullah bersabda: “Bila amanat telah lenyap, maka tunggu saja saat kehancurannya”. Kapan
amanat itu lenyap? Beliau menjawab: “Bila suatu urusan diserahkan kepada orang
yang bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya.” (HR. al-Bukhari).
Itulah pemimpin amin (jujur, yang
bisa memegang amanat) yang dapat menegakkan keadilan.
Pemimpin yang jujur itu hendaklah dipilih dari orang yang
dianggap paling al-ashlah (paling
tepat, dan sesuai) dalam mengemban amanah itu. Hanya yang paling tepat dan
sesuai dengan bidangnya yang dipilih menjadi pemimpin. Kepemimpinan tidak
dipilih atas dasar asal usul (primordial), keluarga (nepotisme), atau untuk
kepentingan suatu golongan tertentu. Rasulullah berkata kepada ‘Abd al-Rahman
Ibn Sumrah: “Wahai ‘Abd al-Rahman,
janganlah kamu meinta jabatan. Bila kamu memegang jabatan tanpa kamu minta,
niscaya kamu akan diberi pertolongan untuk melaksanakannya. Namun bila jabatan
itu diberikan kepadamu karena kamu minta, maka dirimu akan terbebani karenanya”
(HR. Muslim).
Tentang pemimpin yang kuat dan amanah, disebutkan dalam
Al-Qur’an pada kisah anak perempuan Nabi Syu’aib yang meminta yahnya untuk
memilih Musa sebagai pendamping hidupnya: “Wahai
ayahku pilihlah dia, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu pilih
adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (QS. Al-Qashash [28]:26).
Dua sosok sahabat, Khalid Ibn Walid dan Abu Dzarr mempunyai
karakter yang berbeda. Khalid adalah sosok pribadi yang kuat tapi terkadang
tidak sepenuhnya mentaati perintah Rasulullah. Sedangkan Abu Dzarr adalah sosok
pribadi yang sangat taat, dipercaya dan memegang teguh amanat, hanya sayang
badannya lemah. Namun demikian yang selalu ditugaskan Nabi untuk maju memimpin
setiap pertempuran adalah Khalid.
Mudah-mudahan dalam Pemilu yang akan datang kita dapat memilih
para pemimpin yang ideal, sehingga negeri ini menjadi negara yang maju, negara
yang sejahtera, aman dan sentosa. Selalu diberkati dan diridhai Allah SWT.
Amien.
(dimuat
dalam Majalah TABLIGH No. 06/XI Jumadit-Tsani 1435 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar