Rabu, 11 Juni 2014

Kriteria Pemimpin Ideal



Dr. H. Shabah S.M. Syamsi, MA. (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian melaksanakan amanah
kepada pemiliknya. Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah  memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. An-Nisa [4] : 58)

Tahun 2014 dianggap sebagai tahun kepemimpinan nasional. Pemilu Legislatif, 9 April 2014 maupun Pemilu Presiden dan Wakilnya 9 Juli 2014 semakin dekat. Segala persiapan dilakukan untuk menyukseskannya. Hampir semua informasi dalam berbagai media terfokus pada masalah pemilu. Tenaga dan seluruh kekuatan setiap partai politik dikerahkan untuk memenangi pemilu tersebut. Terjadilah suasana persaingan yang begitu ketat. Masing-masing mempromosikan bahwa pemimpin dari partai dan golongannya yang paling baik dan layak dipilih. Persaingan itu tak ayal terkadang menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Upaya pencitraan, black campaign, pembunuhan karakter seringkali dimunculkan. Rakyat jelata bahkan dibuat bingung siapa seharusnya yang mereka pilih.
Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk pada makna pemimpin dan kepemimpinan, seperti: (1) Imam (yang terdepan), disebutkan sebanyak 7 kali, (2) khalifah (pengganti, penerus) disebutkan sebanyak 2 kali, (3) sulthan (penguasa) disebutkan sebanyak 37 kali, (4)  Wali dan awliya’ (pelindung, penolong) disebutkan sebanyak 40 kali, (5) Hakim, hakim dan hukm (pemutus), disebutkan sebanyak 170 kali.
Sang pemimpin adalah imam (yang terdepan) dalam berbagai hal, menjadi seorang visioner dan teladan bagi amsyarakatnya, yang diikuti dan dianut dalam meraih kejayaan. Pemimpin itu berposisi di depan (amam) sebagaimana layaknya ketika menjadi imam shalat. Dia adalah induk (umm) yang menjadi pusat bagi seluruh pergerakan bangsa (ummah). Nabi Ibrahim a.s meohon kepada Allah agar menjadi imam (pemimpin) tidak hanya dirinya tapi juga keturunannya. Namun Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan hanya layak didapat oleh orang-orang adil bukan orang-orang zalim.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengen beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah [2] : 124)
Ibad al-Rahman (para hamba Allah) adalah aimmah (jamak dari imam, terdepan) bagi orang-orang bertaqwa.
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan [25] : 74)
Sang pemimpin adalah khalifah (pengganti dan penerus), pengganti bagi pemimpin sebelumnya dan meneruskan perjuangan bagi keberlangsungan kemajuan. Pemimpin bukan perusak hasil karya pendahulu, merendahkan dan menghinakan prestasi-prestasi yang telah diraih. Pada sang pemimpin dibutuhkan kreasi dan inovasi disamping upaya melestarikan yang sudah baik. Al-muhafadhah ala al-qadim al-shahih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang baik dan emngambil yang baru yang lebih baik). Adam dan keturunannya diciptakan sebagai khalifah di muka bumi agar menegnal nama-nama, mengembangkan, mengatur dan memimpin alam raya dan isinya agar lestari dan dapat berkembang menjadi peradaban mulia. (QS. Al-Baqarah [2] : 30-31). Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah di bumi, agar memimpin manusia dengan benar.
“Nabi Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penerus) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad [38] : 26)
Pemimpin adalah sulthan (penguasa) yang memiliki kekuatan untuk melindungi orang-orang yang dikuasai, keperkasaan untuk menolong orang-orang lemah, dan kekuasaan untuk kemakmuran bangsanya. Hal itu dapat dilihat komitmen Rasulullah saw, ketika berhijrah ke madinah. Dalam do;anya beliau memohon agar menjadi sang penguasa yang menolong (altruis), bukan sang penguasa yang mementingkan diri sendiri (egois).
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. Al-Isra’ [17] : 80)
Pemimpin itu adalah wali (pelindung, penolong) yang membawa kepada sinar terang, mampu memberikan pencerahan bagi kemajuan, mampu mengeluarkan masyarakat dari keterpurukan dan kesengsaraan.
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 257)
Pemimpin itu siap memimpin dan siap dipimpin. Ketika memimpina dia menunjukkan kemampuannya dalam meimpin; memerintah yang ma’ruf, mencegah kemunkaran, menyelaraskan hubungan vertikal dan horisontal, dan taat pada hukum. Ketika habis masa jabatannya, dia siap dipimpin oleh penerusnya dengan tetap memberikan dukungan, nasehat dan bimbingan agar lebih maju.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9] : 71)
Memilih Pemimpin
      Ada isyarat-isyarat penting dalam Al-Qur’an agar negara jangan dibiarkan tanpa pemimpin. Dalam Al-Qur’an, ada prinsi-prinsip penting yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memilih pemimpin, seperti: prinsip al-adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran terhadap mandat), al-musawat (kesamaan). Ada pula beberapa hadits yang mengisyaratkan pentingnya pembentukan kepemimpinan atau pemerintahan, antara lain sanda rasulullah yang mengatakan “Bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin” (HR. Abu Dawud). Sabda Rasulullah yang lain: “Tidak dihalalkan bagi tiga orang yang sedang berada di suatu tempat di bumi kecuali mereka mengangkat salah satu di antara mereka untuk menjadi pemimpin” (HR. Ahmad). Sekecil apapun jumlah komunitas manusia, maka disana harus ada kepemimpinan yang berkuasa atas mereka, supaya komunitas tersebut dapat hidup teratur sesuai dengan aturan-aturan yang telah mereka sepakati. Kepemimpinan itu menjadi penting, sekalipun itu berlaku tiran.
      Ibn Taimiyyah menjelaskan betapa kepemimpinan itu penting, dan oleh karenanya harus diupayakan agar proses pemilihannya dilakukan secara benar. Dijelaskan bahwa ada beberapa perintah agama yang tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya pemimpin yang baik. Perintah-perintah seperti mengumpulkan dan membagikan zakat, mengadili tindak kejahatan, menerapkan perintah jihad, dan lain-lain tidak akan efektif tanpa adanya kekuatan dari penguasa politik yang baik. Banyak sekali perintah agama yang hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kekuasaan pemimpin yang baik.
      Memilih pemimpin yang benar menjadi suatu kewajiban, karena ia merupakan sarana untuk menegakkan terlaksananya kewajiba-kewajiban agama. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah memandang pemilihan kepemimpinan suatu negara sebagai kewajiban agama yang paling agung (min a’dham wajibat al-din), sebab terlaksananya kewajiban-kewajiban agama sangat tergantung pada tegaknya kekuasaan itu. Dari pernyataannya tersebut, Ibn Taimiyyah sangat mengharapkan agar agama dan kekuasaan itu dapat saling mendukung. Nilai-nilai etik agama diharapkan dapat berlaku secara efektif untuk mengontrol kekuasaan, sehingga di dalam negara tidak terjadi sebuah hegemoni kekuasaan yang tiranik. Sebagaimana sebaliknya diharapkan agar kekuatan besar yang dimiliki negara digunakan sebesar-besarnya untuk mendukung penerapan ajaran-ajaran agama. Kekuasaan negara yang demikian akan tercipta ketika ada pemimpin yang baik.
      Kepemimpinan yang terjadi tanpa pilihan, atau dipilih tanpa partisipasi mayoritas, akan mendatangkan ketidakharmonisan antar warga bangsa. Membangun kekuasaan negara sejatinya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan yang sempurna. Kesejahteraan itu tidak mungkin dicapai, kecuali bila ada kerjasama dan saling tolong-menolong untuk mendapatkan kesejahteraan itu. Kekuasaan itu berfungsi untuk merealisasikan tujuan-tujuan bersama dalam mendapatkan manfaat serta mencegah segala bentuk bahaya. Maka di dalamnya ahrus ada kerjasama yang erat antara para penguasa dan rakyat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Ada pemimpin yang adil untuk mengatur kepentingan rakyat, dan ada rakyat yang loyal kepada pemimpin terpilih dengan kesadaran tinggi dalam menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati. Harmonisasi kekuasaan negara itu seperti tubuh yang terdiri dari beberapa anggota badan, ada kepala dan ada badan. Tubuh tidak akan sempurna tanpa kepala dan begitu pula sebaliknya.
Kriteria Pemimpin Ideal
      Dalam pandangan para ulama klasik, pemimpin itu harus memenuhi berbagai kriteria. Al-Farabi (870-950) menjelaskan bahwa seorang pemimpin negara yang diangkat harus memiliki 12 syarat, yaitu: mempunyai anggota badan yang sempurna, mempunyai daya nalar yang baik, daya ingat yang kuat, cerdas dan intelegensia tinggi, daya penyampaian yang baik, cinta ilmu dan senang mengajar, menghindari hal-hal yang dilarang dalam hal makanan dan minuman, suka berderma, berjiwa besar, zuhud, adil dan berani menegakkan kebenaran. Persyaratan itu harus dilengkapi dengan kemampuan mencapai al-sa’adah al-qushwa (kebahagiaan tertinggi), dengan cara mempersatukan semua persyaratan tersebut dengan aql al-fa’al (akal pikiran aktif).
      Ibn Abi Rabi mencantumkan ada enam syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang hendak menjadi kepala negara, yaitu: berasal dari keturunan raja, memiliki kemauan yang keras, kuat mentalnya dan mampu mengendalikan emosi, mempunyai pendirian yang teguh, tabah dalam menghadapi tantangan, memiliki ekonomi yang kuat, memiliki pendukung setia.
      Al-Mawardi (995-1059) memberikan 7 syarat yang harus dimiliki bagi kepala negara, yaitu: 1) adil, 2) mempunyai ilmu luas sehingga mampu melakukan ijtihad, 3) sehat inderawi; pendengaran, penglihatan dan lisan, 4) sehat anggota badan dan tidak cacat, 5) wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum, 6) berani dalam melindungi rakyat dan menentang musuh, 7) berasal dari keturunan Quraisy
      Al-Ghazali (1058-1111) memberikan sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi seorang kepala negara. Persyaratan itu adalah: dewasa, akal yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, sehat pendengaran dan penglihatan, kekuasaan yang nyata, yakni adanya perangkat yang memadai seperti adanya alat negara, hidayah, yakni adanya daya pikir dan perencanaan yang kuat, berilmu dan wara;, yakni tidak berbuat hal-hal yang terlarang.
      Namun Ibn Taimiyyah memandang lebih sederhana tentang kualifikasi calon pemimpin. Karena dianggap kualifikasi-kualifikasi seperti yang disebut apara ulama sebelumnya terlalu sulit untuk diwujudkan. Ibn Taimiyyah ingin berpikir praktis dan realistis dalam hal ini. Baginya pemimpin tidak sekedar dipilih kemudian dilantik (dibai’at), tapi harus dipilih dan disepakati oleh mayoritas rakyat. Umar Ibn Khatthab berkata: “Siapa yang membai’at seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin, maka orang itu tidak dibai’at dan dia tidak membai’at. Mereka itu sah untuk dibunuh.” Bagi Ibn Taimiyyah, kriteria utama seorang pemimpin adalah amanah (kejujuran terhadap mandat) dan quwwah (kekuatan, kemampuan).
      Kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus ditegakkan. Pemimpin sebuah negara, atau peminpin-pemimpin lain yang lebih rendah tingkatannya, harus dapat menyampaikan amanat itu kepada pemiliknya. (QS. An-Nisa’ [4]:58). Pemimpin hendaknya dipilih karena kejujuran, dan dapat mengemban amanah tersebut. Rasulullah bersabda: “Bila amanat telah lenyap, maka tunggu saja saat kehancurannya”. Kapan amanat itu lenyap? Beliau menjawab: “Bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya.” (HR. al-Bukhari). Itulah pemimpin amin (jujur, yang bisa memegang amanat) yang dapat menegakkan keadilan.
      Pemimpin yang jujur itu hendaklah dipilih dari orang yang dianggap paling al-ashlah (paling tepat, dan sesuai) dalam mengemban amanah itu. Hanya yang paling tepat dan sesuai dengan bidangnya yang dipilih menjadi pemimpin. Kepemimpinan tidak dipilih atas dasar asal usul (primordial), keluarga (nepotisme), atau untuk kepentingan suatu golongan tertentu. Rasulullah berkata kepada ‘Abd al-Rahman Ibn Sumrah: “Wahai ‘Abd al-Rahman, janganlah kamu meinta jabatan. Bila kamu memegang jabatan tanpa kamu minta, niscaya kamu akan diberi pertolongan untuk melaksanakannya. Namun bila jabatan itu diberikan kepadamu karena kamu minta, maka dirimu akan terbebani karenanya” (HR. Muslim).
      Tentang pemimpin yang kuat dan amanah, disebutkan dalam Al-Qur’an pada kisah anak perempuan Nabi Syu’aib yang meminta yahnya untuk memilih Musa sebagai pendamping hidupnya: “Wahai ayahku pilihlah dia, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu pilih adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (QS. Al-Qashash [28]:26).
      Dua sosok sahabat, Khalid Ibn Walid dan Abu Dzarr mempunyai karakter yang berbeda. Khalid adalah sosok pribadi yang kuat tapi terkadang tidak sepenuhnya mentaati perintah Rasulullah. Sedangkan Abu Dzarr adalah sosok pribadi yang sangat taat, dipercaya dan memegang teguh amanat, hanya sayang badannya lemah. Namun demikian yang selalu ditugaskan Nabi untuk maju memimpin setiap pertempuran adalah Khalid.
      Mudah-mudahan dalam Pemilu yang akan datang kita dapat memilih para pemimpin yang ideal, sehingga negeri ini menjadi negara yang maju, negara yang sejahtera, aman dan sentosa. Selalu diberkati dan diridhai Allah SWT. Amien.

(dimuat dalam Majalah TABLIGH No. 06/XI Jumadit-Tsani 1435 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar