(dimuat dalam Majalah AL-FALAH edisi
308/November 2013)
Allah menjadikan rumah sebagai tempat
ketenangan.
Oleh sebab itu, untuk merawat ketenangan
itu, perlu menghidupkan
Cahaya kebaikan didalamnya. Yakni
membangun kebersamaan
Dalam ibadah maupun dalam aktivitas
lainnya.
Tinggal
di kampung padat penduduk, membuat Mitha lebih sering berinteraksi dengan warga
sekitarnya. Suatu saat Mitha terkaget ketika para tetangganya menanyakan resep
menjaga keakraban rumah tangganya. Menurut mereka, keakraban keluarga Mitha
terlihat baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Bahkan, para tetangga juga
merasakan kenyamanan bila silaturrahim
di rumahnya.
Ternyata,
Mitha mempunyai prinsip dalam menjaga kebersamaan dalam keluarga. “Saya selalu
berusaha membiasakan kebersamaan bersama anak-anak dan suami. Menjaga keluarga
yang harmonis kan sudah dicontohkan
sama Nabi kita, Muhammad SAW., misalnya shalat berjama’ah, tadarus bersama,
sampai cuci baju bersama-sama”, ujar wanita berusia 30 tahun ini sembari
tersenyum.
Oleh
para tetangga, keluarga Mitha diakui keharmonisannya.”Sebenarnya tidak selalu
begitu, karena setiap rumah tangga pasti ada cobaannya. Tapi dengan membiasakan
kebersamaan, jika ada masalah, bisa langsung teratasi. Misalnya pagi ada
selisih pendapat dengan suami, sorenya setelah tadarus bersama, masalah
tersebut bisa langsung ternetralisasi. Begitu juga ketika terjadi
masalah-masalah hampir pasti bisa diselesaikan dalam kebersamaan.” ungkap istri
dari Suhartono ini.
Keluarga
Mitha bisa menjadi contoh dalam menghidupkan cahaya surga di rumah. Membangun
kebersamaan dalam keluarga menjadi sebuah kebiasaan. Rumah merupakan tempat
yang digunakan untuk melindungi kebiasaan-kebiasaan atau tabi’at dan dapat
melepaskan diri dari ikatan-ikatan masyarakat. Sehingga, tubuh bisa istirahat
dan jiwa pun kembali tenang.
“Allah menjadikan untuk kamu rumah-rumah kamu
sebagai tempat ketenangan.” (QS. An-Nahl : 80). Dari penjelasan di atas,
sebuah rumah harus tetap terjaga dalam segala hal, baik itu yang duniawi maupun
yang ukhrowi (akhirat).
Kebersamaan Mengingat Allah
Menghidupkan
cahaya bukan seperti menghidupkan bola lampu, lampu tempel, cahaya listrik,
dsb. Menghidupkan cahaya di dalam rumah merupakan kebutuhan rohani untuk meningkatkan
kestabilan di dalam keluarga.
Menurut
dr. H. Achmad Salim Sungkar, SpKJ., untuk menghidupkan cahaya di dalam rumah
dapat dilakukan dengan membaca Al-Qur’an (tadarus Qur’an bersama keluarga) atau
sholat fardhu maupun sholat malam berjama’ah. Seperti yang disampaikan Anas bin
Malik r.a., menuturkan bahwa Rasulullah SAW., bersabda : “Sesungguhnya rumah yang didalamnya sering dibaca Al-Qur’an akan
banyaklah kebaikannya. Adapun rumah yang didalamnya tidak pernah dibaca
Al-Qur’an akan sedikit kebaikannya.” (HR. al-Bazzar).
“Tidak
hanya membaca Al-Qur’an dan shalat saja, tetapi ada hal yang terpenting dalam
menghidupkan cahaya di dalam keluarga, yakni selalu berkomunikasi dengan lembut
dan mengutamakan musyawarah dalam amar
ma’ruf nahi munkar. Komunikasi bisa berbentuk lisan atau bukan lisan
(tingkah laku, mimik muka, tulisan, gerakan anggota badan dan penampilan
anggota keluarga),” tutur pengasuh biro konsultasi keluarga sakinah Masjid
Al-Falah Surabaya ini.
Pria
kelahiran 10 Maret 1940 ini menambahkan, komunikasi dalam keluarga akan
senantiasa terpelihara selama komunikasi dengan Allah SWT tetap terjaga. Rumah
tangga sebagai tempat pengkaderan generasi yang akan datang. Suami menghidupkan
semangat memahami agama, sehingga anak dan istri semakin cinta kepada agama,
Allah dan Rasul-Nya. Cinta inilah yang akan menghidupkan cahaya hati anggota
keluarga, sehingga perbuatannya sesuai syariat Allah SWT.
“Saling
memberikan nasehat dalam kebenaran dan kesabaran, pujian, perhatian, hadiah,
dan do’a. tumbuhkanlah sikap percaya diri yang tumbuh dari iman kepada Allah,
kasih sayang, kemesraan dan saling menghormati antar-anggota keluarga dalam
suasana tauhid. Orangtua menjadi pendengar yang bijak dari curahan hati
anak-anak, orangtua bersikap terbuka dalam menerima kritikan anak,” tambah
dokter spesialis kejiwaan ini.
Di
dalam keluarga harus selalu mengingat Allah., baik dalam kondisi apapun supaya
cahaya yang ada di dalam rumah tetap terang dan orang yang ada di dalamnya juga
akan tentram, seperti dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28 : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi
tentram.”
Hal
itu, karena tidak ada yang lebih nikmat dan lebih manis baginya daripada
mencintai Allah, dekat dengan-Nya dan mengenal-Nya. Semakin tinggi tingkat ma’rifat (mengenal) kepada Allah dan
kecintaan kepada-Nya, maka semakin banyak menyebut nama Tuhannya dan
mengingat-Nya. Bisa dengan bertasbih, bertahlil (mengucap Laa iIlla ha illallah), bertakbir dsb. Karenanya, dengan sering
mengingat Allah, ampuh menentramkan hati. Itu bisa terjadi dengan mengenali
kandungan Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Sebab, kandungannya menunjukkan
kebenaran-kebenaran yang diperkuat dalil-dalil dan bukti sehingga hati semakin
tentram, karena hati tidaklah tentram kecuali dengan ilmu dan keyakinan, yang
bersumber dari Kitabullah.
Harus Menyisihkan Waktu Bersama
Peningkatan
intensitas dan kualitas komunikasi antar-anggota keluarga harus selalu dijaga.
Menurut Liestianingsih Dwi Dayani, hal itu merupakan langkah tepat untuk
mengatasi perkembangan jaman. Sehingga pengaruh-pengaruh negatif dari
perkembangan jaman dapat diantisipasi bersama-sama.
Meningkatnya
kecanggihan teknologi, terutama gadget
sangat mempengaruhi pola komunikasi jaman sekarang. Bahkan, termasuk
mempengaruhi komunikasi antar-anggota keluarga. Apalagi ditambah dengan
berbagai kesibukan masing-masing anggota keluarga.
Peran
ayah misalnya, yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga, menuntutnya untuk
sibuk dan jarang di rumah. Posisi ibu juga demikian, yang disibukkan dengan
tugas rumah tangga. Apalagi di era sekarang peran ibu tidak selalu di rumah.
Banyak ibu yang mempunyai peran penting di luar rumah dan berkarir demi
membantu perekonomian keluarga. Anak juga disibukkan dengan studinya dan
berbagai kegiatan di luar rumah bersama teman-temannya.
Dosen
Psikologi Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini menambahkan
keluarga di jaman sekarang sudah sangat berbeda dengan dulu. Kesibukan anak
misalnya, saat tumbuh kembang, dulu anak-anak menikmati betul masa kanak-kanak
dengan mengeksplorasi berbagai macam hal dengan permainan yang dilakukan di
dalam maupun luar rumah untuk mengasah motorik halus dan kasarnya.
Keakraban
dalam sebuah keluarga perlu untuk dijaga karena bisa menumbuhkan aktivitas
positif, sehingga komunikasi antara satu sama lain dapat terbangun dengan baik.
Kondisi keluarga yang akrab, harmonis dan saling pengertian satu sama lain,
akan membuat keadaan rumah begitu nyaman dan tentram. Komunikasi bisa terbangun
dengan baik jika seluruh anggota keluarga dapat memahami dan menjalankan peran masing-masing
dengan baik. Tapi itu saja tidaklah cukup, perlu adanya kesepakatan untuk
meluangkan waktu bersama.
Jika
ayah harus sibuk dengan pekerjaannya mencari nafkah, ibu mengurusi keperluan
rumah tangga, anak berkutat dengan tugas-tugas sekolah, semua kesibukan ini
harus mempunyai jeda. Yakni meluangkan waktu untuk bersama.
“Anak-anak
tidak punya waktu bermain, bersosialisasi serta mengembangkan potensinya.
Sepulang sekolah anak-anak masih harus mengikuti les tambahan. Akibatnya
sesampai di rumah anak-anak sudah lelah, dan rumah betul-betul hanya tempat
transit untuk beristirahat, bahkan beberapa anak masih harus mengerjakan PR.
Anak-anak sekarang bebannya sangat berat,” imbuh Liestianingsih. Meskipun
begitu, mengisi waktu bersama antar-anggota keluarga sudah seharusnya
dilakukan, jika perlu harus dipaksakan. Misalnya mengerjakan pekerjaan rumah
bersama, mencuci pakaian, belanja atau bersantai bersama.
Di
lain sisi, perkembangan teknologi komunikasi yang pesat, menyediakan kemudahan
bagi siapapun untuk mengakses informasi dan hiburan. Tak ayal orangtua pun
turut memanjakan anak-anaknya dengan fasilitas gadget seperti komputer, laptop, tablet maupun smartphones. Bisa dibayangkan bagaimana anak-anak ini
bersosialisasi dengan anggota keluarganya yang lain. Dulu, sepulang kerja, ayah
ataupun ibu berinteraksi dengan anak-anaknya. Sekarang ini semakin sulit karena
teknologi komunikasi. Dahulu, jika sore hari anggota keluarga berkumpul
menonton TV dan saling berinteraksi, sekarang ini mereka menonton TV namun
dengan memegang gadget masing-masing
sehingga interaksi antar-anggota sangat minim terjadi.
Inilah
yang menjauhkan hubungan atau merenggangkan komunikasi keluarga sehingga
kebersamaan yang akan menimbulkan cahaya surga dalam rumah itu semakin sulit
dilakukan. Dengan demikian, rumah menjadi ‘halte’ yang hanya menjadi tempat
mampir istirahat bagi penghuninya. Liestianingsih menjelaskan, untuk membangun
relasi dalam keluarga, perlu ada solusi yang semestinya diterapkan. Solusi
tersebut diantaranya mengawasi penggunaan gadget
pada anak, menjalankan ibadah bersama (shalat berjamaah), meluangkan waktu
untuk berdiskusi bersama. Mempererat hubungan keluarga bisa juga dengan makan
bersama. Juga dengan memanfaatkan waktu liburan untuk pergi bersama dengan
kegiatan yang positif dan mendidik. Terapkan pula reward and punishment, yakni mendidik dengan memberi penghargaan
dan hukuman untuk mengajarkan anak untuk bertanggung jawab.
Begitulah,
menghidupkan cahaya surga di rumah harus dimulai dari membangun komunikasi yang
baik. Jika komunikasi antar-anggota keluarga berjalan baik, dapat diaplikasikan
dengan menyusun kegiatan-kegiatan bersama. Jika kebersamaan ini menjadi
kebiasaan dalam keluarga, maka otomatis terbangun keluarga yang harmonis, penuh
cinta, kasih sayang dan penuh limpahan hidayah Allah SWT. Nah, jika
keharmonisan keluarga yang akhirnya mendatangkan rahmat Allah, inilah cahaya
surga yang muncul. Mari menghidupkan cahaya surga dari dalam rumah kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar