Selasa, 03 Juni 2014

MENGHIDUPKAN CAHAYA SURGA DALAM KELUARGA

(dimuat dalam Majalah AL-FALAH edisi 308/November 2013)

Allah menjadikan rumah sebagai tempat ketenangan.
Oleh sebab itu, untuk merawat ketenangan itu, perlu menghidupkan
Cahaya kebaikan didalamnya. Yakni membangun kebersamaan
Dalam ibadah maupun dalam aktivitas lainnya.

Tinggal di kampung padat penduduk, membuat Mitha lebih sering berinteraksi dengan warga sekitarnya. Suatu saat Mitha terkaget ketika para tetangganya menanyakan resep menjaga keakraban rumah tangganya. Menurut mereka, keakraban keluarga Mitha terlihat baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Bahkan, para tetangga juga merasakan kenyamanan bila silaturrahim di rumahnya.
Ternyata, Mitha mempunyai prinsip dalam menjaga kebersamaan dalam keluarga. “Saya selalu berusaha membiasakan kebersamaan bersama anak-anak dan suami. Menjaga keluarga yang harmonis kan sudah dicontohkan sama Nabi kita, Muhammad SAW., misalnya shalat berjama’ah, tadarus bersama, sampai cuci baju bersama-sama”, ujar wanita berusia 30 tahun ini sembari tersenyum.
Oleh para tetangga, keluarga Mitha diakui keharmonisannya.”Sebenarnya tidak selalu begitu, karena setiap rumah tangga pasti ada cobaannya. Tapi dengan membiasakan kebersamaan, jika ada masalah, bisa langsung teratasi. Misalnya pagi ada selisih pendapat dengan suami, sorenya setelah tadarus bersama, masalah tersebut bisa langsung ternetralisasi. Begitu juga ketika terjadi masalah-masalah hampir pasti bisa diselesaikan dalam kebersamaan.” ungkap istri dari Suhartono ini.
Keluarga Mitha bisa menjadi contoh dalam menghidupkan cahaya surga di rumah. Membangun kebersamaan dalam keluarga menjadi sebuah kebiasaan. Rumah merupakan tempat yang digunakan untuk melindungi kebiasaan-kebiasaan atau tabi’at dan dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan masyarakat. Sehingga, tubuh bisa istirahat dan jiwa pun kembali tenang.
Allah menjadikan untuk kamu rumah-rumah kamu sebagai tempat ketenangan.” (QS. An-Nahl : 80). Dari penjelasan di atas, sebuah rumah harus tetap terjaga dalam segala hal, baik itu yang duniawi maupun yang ukhrowi (akhirat).
Kebersamaan Mengingat Allah
Menghidupkan cahaya bukan seperti menghidupkan bola lampu, lampu tempel, cahaya listrik, dsb. Menghidupkan cahaya di dalam rumah merupakan kebutuhan rohani untuk meningkatkan kestabilan di dalam keluarga.
Menurut dr. H. Achmad Salim Sungkar, SpKJ., untuk menghidupkan cahaya di dalam rumah dapat dilakukan dengan membaca Al-Qur’an (tadarus Qur’an bersama keluarga) atau sholat fardhu maupun sholat malam berjama’ah. Seperti yang disampaikan Anas bin Malik r.a., menuturkan bahwa Rasulullah SAW., bersabda : “Sesungguhnya rumah yang didalamnya sering dibaca Al-Qur’an akan banyaklah kebaikannya. Adapun rumah yang didalamnya tidak pernah dibaca Al-Qur’an akan sedikit kebaikannya.” (HR. al-Bazzar).
“Tidak hanya membaca Al-Qur’an dan shalat saja, tetapi ada hal yang terpenting dalam menghidupkan cahaya di dalam keluarga, yakni selalu berkomunikasi dengan lembut dan mengutamakan musyawarah dalam amar ma’ruf nahi munkar. Komunikasi bisa berbentuk lisan atau bukan lisan (tingkah laku, mimik muka, tulisan, gerakan anggota badan dan penampilan anggota keluarga),” tutur pengasuh biro konsultasi keluarga sakinah Masjid Al-Falah Surabaya ini.
Pria kelahiran 10 Maret 1940 ini menambahkan, komunikasi dalam keluarga akan senantiasa terpelihara selama komunikasi dengan Allah SWT tetap terjaga. Rumah tangga sebagai tempat pengkaderan generasi yang akan datang. Suami menghidupkan semangat memahami agama, sehingga anak dan istri semakin cinta kepada agama, Allah dan Rasul-Nya. Cinta inilah yang akan menghidupkan cahaya hati anggota keluarga, sehingga perbuatannya sesuai syariat Allah SWT.
“Saling memberikan nasehat dalam kebenaran dan kesabaran, pujian, perhatian, hadiah, dan do’a. tumbuhkanlah sikap percaya diri yang tumbuh dari iman kepada Allah, kasih sayang, kemesraan dan saling menghormati antar-anggota keluarga dalam suasana tauhid. Orangtua menjadi pendengar yang bijak dari curahan hati anak-anak, orangtua bersikap terbuka dalam menerima kritikan anak,” tambah dokter spesialis kejiwaan ini.
Di dalam keluarga harus selalu mengingat Allah., baik dalam kondisi apapun supaya cahaya yang ada di dalam rumah tetap terang dan orang yang ada di dalamnya juga akan tentram, seperti dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28 : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”
Hal itu, karena tidak ada yang lebih nikmat dan lebih manis baginya daripada mencintai Allah, dekat dengan-Nya dan mengenal-Nya. Semakin tinggi tingkat ma’rifat (mengenal) kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya, maka semakin banyak menyebut nama Tuhannya dan mengingat-Nya. Bisa dengan bertasbih, bertahlil (mengucap Laa iIlla ha illallah), bertakbir dsb. Karenanya, dengan sering mengingat Allah, ampuh menentramkan hati. Itu bisa terjadi dengan mengenali kandungan Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Sebab, kandungannya menunjukkan kebenaran-kebenaran yang diperkuat dalil-dalil dan bukti sehingga hati semakin tentram, karena hati tidaklah tentram kecuali dengan ilmu dan keyakinan, yang bersumber dari Kitabullah.
Harus Menyisihkan Waktu Bersama
Peningkatan intensitas dan kualitas komunikasi antar-anggota keluarga harus selalu dijaga. Menurut Liestianingsih Dwi Dayani, hal itu merupakan langkah tepat untuk mengatasi perkembangan jaman. Sehingga pengaruh-pengaruh negatif dari perkembangan jaman dapat diantisipasi bersama-sama.
Meningkatnya kecanggihan teknologi, terutama gadget sangat mempengaruhi pola komunikasi jaman sekarang. Bahkan, termasuk mempengaruhi komunikasi antar-anggota keluarga. Apalagi ditambah dengan berbagai kesibukan masing-masing anggota keluarga.
Peran ayah misalnya, yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga, menuntutnya untuk sibuk dan jarang di rumah. Posisi ibu juga demikian, yang disibukkan dengan tugas rumah tangga. Apalagi di era sekarang peran ibu tidak selalu di rumah. Banyak ibu yang mempunyai peran penting di luar rumah dan berkarir demi membantu perekonomian keluarga. Anak juga disibukkan dengan studinya dan berbagai kegiatan di luar rumah bersama teman-temannya.
Dosen Psikologi Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini menambahkan keluarga di jaman sekarang sudah sangat berbeda dengan dulu. Kesibukan anak misalnya, saat tumbuh kembang, dulu anak-anak menikmati betul masa kanak-kanak dengan mengeksplorasi berbagai macam hal dengan permainan yang dilakukan di dalam maupun luar rumah untuk mengasah motorik halus dan kasarnya.
Keakraban dalam sebuah keluarga perlu untuk dijaga karena bisa menumbuhkan aktivitas positif, sehingga komunikasi antara satu sama lain dapat terbangun dengan baik. Kondisi keluarga yang akrab, harmonis dan saling pengertian satu sama lain, akan membuat keadaan rumah begitu nyaman dan tentram. Komunikasi bisa terbangun dengan baik jika seluruh anggota keluarga dapat memahami dan menjalankan peran masing-masing dengan baik. Tapi itu saja tidaklah cukup, perlu adanya kesepakatan untuk meluangkan waktu bersama.
Jika ayah harus sibuk dengan pekerjaannya mencari nafkah, ibu mengurusi keperluan rumah tangga, anak berkutat dengan tugas-tugas sekolah, semua kesibukan ini harus mempunyai jeda. Yakni meluangkan waktu untuk bersama.
“Anak-anak tidak punya waktu bermain, bersosialisasi serta mengembangkan potensinya. Sepulang sekolah anak-anak masih harus mengikuti les tambahan. Akibatnya sesampai di rumah anak-anak sudah lelah, dan rumah betul-betul hanya tempat transit untuk beristirahat, bahkan beberapa anak masih harus mengerjakan PR. Anak-anak sekarang bebannya sangat berat,” imbuh Liestianingsih. Meskipun begitu, mengisi waktu bersama antar-anggota keluarga sudah seharusnya dilakukan, jika perlu harus dipaksakan. Misalnya mengerjakan pekerjaan rumah bersama, mencuci pakaian, belanja atau bersantai bersama.
Di lain sisi, perkembangan teknologi komunikasi yang pesat, menyediakan kemudahan bagi siapapun untuk mengakses informasi dan hiburan. Tak ayal orangtua pun turut memanjakan anak-anaknya dengan fasilitas gadget seperti komputer, laptop, tablet maupun smartphones. Bisa dibayangkan bagaimana anak-anak ini bersosialisasi dengan anggota keluarganya yang lain. Dulu, sepulang kerja, ayah ataupun ibu berinteraksi dengan anak-anaknya. Sekarang ini semakin sulit karena teknologi komunikasi. Dahulu, jika sore hari anggota keluarga berkumpul menonton TV dan saling berinteraksi, sekarang ini mereka menonton TV namun dengan memegang gadget masing-masing sehingga interaksi antar-anggota sangat minim terjadi.
Inilah yang menjauhkan hubungan atau merenggangkan komunikasi keluarga sehingga kebersamaan yang akan menimbulkan cahaya surga dalam rumah itu semakin sulit dilakukan. Dengan demikian, rumah menjadi ‘halte’ yang hanya menjadi tempat mampir istirahat bagi penghuninya. Liestianingsih menjelaskan, untuk membangun relasi dalam keluarga, perlu ada solusi yang semestinya diterapkan. Solusi tersebut diantaranya mengawasi penggunaan gadget pada anak, menjalankan ibadah bersama (shalat berjamaah), meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama. Mempererat hubungan keluarga bisa juga dengan makan bersama. Juga dengan memanfaatkan waktu liburan untuk pergi bersama dengan kegiatan yang positif dan mendidik. Terapkan pula reward and punishment, yakni mendidik dengan memberi penghargaan dan hukuman untuk mengajarkan anak untuk bertanggung jawab.
Begitulah, menghidupkan cahaya surga di rumah harus dimulai dari membangun komunikasi yang baik. Jika komunikasi antar-anggota keluarga berjalan baik, dapat diaplikasikan dengan menyusun kegiatan-kegiatan bersama. Jika kebersamaan ini menjadi kebiasaan dalam keluarga, maka otomatis terbangun keluarga yang harmonis, penuh cinta, kasih sayang dan penuh limpahan hidayah Allah SWT. Nah, jika keharmonisan keluarga yang akhirnya mendatangkan rahmat Allah, inilah cahaya surga yang muncul. Mari menghidupkan cahaya surga dari dalam rumah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar