Oleh
: Drs. Syamsul Hidayat, M.Ag (pengajar Univ. Muhammadiyah Surakarta)
Masalah
penentuan awal bulan hijriyah ketika akan memasuki bulan Ramadhan, Syawwal dan
Dzulhijjah hampir selalu menimbulkan masalah yang cukup menyita perhatian umat
Islam di Indonesia. Yang kerap menjadi pertanyaan adalah apakah Idul Fitri bisa
kompak bersama atau akan berbeda lagi? Mengapa bisa berbeda? Apakah tidak bisa
dipersatukan? Dan seterusnya.
Dalam
perkembangan pemikirannya, Muhammadiyah memiliki dinamika dalam mempersepsikan
penetapan ‘bulan baru’ hijriyah, terutama penetapan awal Ramadhan dan Idul
Fitri. Ketika Kitab Shiyam ditetapkan pada Muktamar Tarjih ke-28 di Medan tahun
1939, Majelis Tarjih menetapkan bahwa memasuki dan mengakhiri puasa Ramadhan
didasarkan pada: (1) melihat hilal (rukyah), (2) kesaksian orang yang adil, (3)
istikmal, yakni menggenapkan Sya’ban/Ramadhan 30 hari, dan (4) Hisab. Dari
keempat cara tersebut, terkandung makna bahwa Majelis Tarjih menerima metode
rukyah dan hisab untuk menetapkan awal bulan. Poin (1) dan (3) hakikatnya satu
yakni rukyatul hilal, sedangkan poin
keempat adalah hisab. Namun dari penjelasan di atas, terlihat bahwa Majelis
Tarjih Muhammadiyah lebih mengutamakan rukyah daripada hisab.
Kecenderungan
tersebut diperkuat oleh putusan Tarjih yang menyatakan: “Apabila ahli hisab
menetapkan bulan belum tanggal (adamu
wujudil hilal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan (wujuduhu ma’a adami imkanir rukyah),
padahal kenyataannya ada orang-orang yang melihat pada malam itu pula, maka
manakah yang mu’tabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa yang mu’tabar adalah
rukyah.(lihat HPT, cet 1983: hal 291)
Setelah ilmu hisab
berkembang pesat dan banyak kader Muhammadiyah yang menekuni ilmu
hisab-astronomi ini, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa hisab memiliki
kedudukan yang sama dengan rukyah. Bahkan dalam prakteknya hisab memiliki
kepastian yang tinggi dan dapat ditetapkan jauh-jauh hari sebelum masuknya
bulan baru tersebut, seperti tingkat kepastian yang dimiliki oleh para ahli
ilmu hisab dalam memperkirakan terjadinya gerhana bulan dan matahari.
Perkembangan Hisab
Muhammadiyah
Adapun hisab
yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah hisab hakiki, yakni perhitungan gerak dan
posisi matahari dan bulan yang sebenarnya dan setepat-tepatnya. Dalam
perkembangannya, kriteria hisab Muhammadiyah mengalami beberapa kali perubahan,
sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Susiknan Azhari, pakar hisab-falakiyah Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, sebagai berikut :
Pada masa KH.
Ahmad Dahlan, hisab digunakan sebagai patokan untuk menetapkan masuknya
tanggal/bulan baru dengan kriteria imkanur rukyah. Yakni hilal sudah wujud
dengan ketinggian yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Pilihan pada
imkanur rukyah dipandang paling tepat karena metode dengan kriteria tersebut
mempertemukan ketetapan syar’i dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Metode dan
kriteria tersebut bertahan hingga tahun 1937. Kemudian dikoreksi oleh Majelis
Tarjih karena dipandang memiliki kelemahan, diantaranya adalah kriteria imkanur
rukyah tidak memiliki standar yang disepakati atau yang bisa dibakukan. Maka
para ulama Tarjih mengambil kriteria baru dalam hisab, yakni hisab hakiki
dengan kriteria ijtima’ qablal ghurub.
Yakni apabila ijtima’ terjadi sebelum terbenamnya matahari (maghrib), maka esok
harinya sudah masuk tanggal baru, karena pada dasarnya terjadinya ijtima’
adalah batas akhir dari suatu bulan, dan sesudah itu adalah bulan baru. Tetapi
penilaian ijtima’ akan benar-benar menjadi titik akhir bulan berjalan dengan
titik awal bulan baru bila terjadi sebelum ghurub.
Kriteria ijtima’ qablal ghurub dipandang kurang
memiliki pijakan syar’i, terutama dikaitkan dengan hadis rukyah, sehingga
Majelis Tarjih menetapkan untuk kembali kepada kaidah imkanur rukyah, karena
dipandang lebih dekat dengan nash-nash hadits tentang rukyah. Disamping itu
imkanur rukyah sebenarnya menempati posisi titik temu antara sins (kriteria
akademik masuknya bulan baru) dengan kriteria syari’ah dimanamasuknya tanggal
baru ditandai dengan visibilitas hilal.
Kriteria ini
pun kemudian mengalami problem ketika beberapa pihak keluar dari kesepakatan
mengenai kriteria imkanur rukyah,
sehingga standarisasi kriterianya menjadi tidak jelas. Dalam hal ini Majelis
Tarjih memandang, berarti hisab hakiki dengan imkanur rukyah belum ideal untuk
dihgunakan sebagai manhaj dalam menetapkan masuknya bulan baru. Untuk itu,
Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Wiradesa tahun 1972 mengamanatkan kepada PP
Muhammadiyah Majelis Tarjih agar berusaha mendapatkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk kesempurnaan penentuan hisab dan mematangkan masalah tersebut
untuk kemudian dibawa ke Muktamar Tarjih yang akan datang. Sebelum ada
ketentuan hisab yang pasti, penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah
dipercayakan kepada PP Muhammadiyah.
Wujudul Hilal dan
Matla’ Wilayatul Hukmi
Pembahasan
mengenai hisab-rukyah ini baru dapat dilaksanakan pada Munas Tarjih ke 25 di Jakarta,
yang mengkhususkan kepada masalah penetapan awal bulan dan Matla’. Munas
menetapkan beberapa keputusan sebagai berikut:
Pertama, hisab hakiki dan rukyatul
hilal sebagai pedoman penetapan awal bulan Qamariyah memiliki kedudukan yang
sama. Kedua, hisab hakiki yang
digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah adalah
hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Ketiga, berlakunya penetapan tanggal baru tersebut berlaku pada
matla’ yang didasarkan pada wilayatul hukmi, yaitu kesatuan wilayah negara
Indonesia.
Keputusan di
atas diperkuat dalam Munas Tarjih ke 26 di Padang tahun 2003. Dengan merujuk
kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, Munas memutuskan bahwa:
(1) Hisab mempunyai kedudukan yang sama
dengan rukyah sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijjah, didasarkan pada firman Allah SWT:
“Barangsiapa diantara kamu
menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah berpuasa pada bulan itu...” (Al-Baqarah : 185)
“Dialah yang telah menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah
(orbit-orbit)-nya bagi perjalanan bulan itu, supaya kalian mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan waktu.”
(Yunus :5)
Kemudian
didasarkan juga pada hadits dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah menjelaskan
tentang Ramadhan, beliau bersabda: “Janganlah
kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan jangan pula berbuka sehingga kamu
melihatnya. Bila pandanganmu terhalang (tidak dapat melihat), maka
perkirakanlah (perhitungkanlah).” (HR. Bukhari-Muslim)
(2) Hisab, sebagaimana pada poin satu,
yang digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan
kriteria wujudul hilal, didasarkan
pada firman Allah SWT: “Matahari dan
bulan (beredar) menurut perhitungan” (Ar-Rahman : 5) dan firman-Nya: “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar
pada garis edarnya” (Yasiin : 39-40)
(3) Matla’ yang dipergunakan oleh
Muhammadiyah adalah yang didasarkan pada kesatuan wilayatul hukmi (Indonesia)
yang disandarkan pada dalil-dalil berikut:
Pertama, hadits Kuraib: Dari Kuraib,
sesungguhnya Ummul Fadhl binti Haris mengutusnya menemui Muawiyah di negeri
Syam. Ia berkata: Saya tiba di negeri Syam dan melaksanakan hajatnya. Dan
masuklah bulan Ramadhan sementara aku ada di negeri Syam tersebut. Saya melihat
hilal pada malam Jumat, selanjutnya saya kembali ke Madinah akhir bulan
Ramadhan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dengan menyebut
tentang hilal. Ia bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Saya menjawab: Kami
melihat hilal pada malam hari Jumat. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang
melihatnya? Maka jawab Kuraib: “Benar” dan orang lain juga melihatnya.
Karenanya Muawiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah bin Abbas
berkata: Tetapi kamu melihat hilal pada malam Sabtu, karenanya kami terus
berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau
kami melihat hilal sendiri. Saya (Kuraib) bertanya:”Apakah kamu (Ibnu Abbas)
tidak cukup mengikuti rukyahnya Mu’awiyah (di Syam) dan puasanya?” ibnu Abbas
menjawab: “Tidak. Demikianlah yang Rasulullkah perintahkan kepada kami”. (HR.
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dan Daruquthni). Kedua,keumuman hadits Ibnu Umar di atas.
(4) Apabila garis batas wujudul hilal
pada awal bulan tersebut membelah wilayah Indonesia, maka kewenangan menetapkan
awal bulan diserahkan kepada PP Muhammadiyah.
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa meskipun sampai saat ini belum dapat dipersatukan atau
diseragamkan baik perbedaan antar sesama hisab maupun antara hisab dan rukyah,
sebenarnya masing-masing memiliki hujjah yang kuat dan masing-masing saling
menegasikan, sebagaimana qaidah fiqhiyyah yang menyatakan: “La yunqadhul ijtihad bil ijtihad” (ijtihad tidak dapat dibatalkan
oleh ijtihad yang lain).
Mereka yang menyatakan bahwa hisab
adalah bid’ah mungkin juga memiliki hujjah dan dalil syar’i, meskipun pendapat
ini masih perlu diperdebatkan. Demikian juga yang berpendapat hisab hanyalah
wasilah menuju rukyah, sehingga kepastian terakhir adalah pada rukyah.
Sementara Muhammadiyah menggunakan
Hisab Hakiki Wujudul Hilal karena memandang hisab dan rukyah memiliki kedudukan
yang sama dan hisab dipandang memiliki kepastian yang lebih kuat daripada
rukyah. Disamping itu hal ini juga didasarkan kepada hujjah dan dalil syar’i
yang kuat.
Semuanya itu justru menunjukkan
bahwa penanggalan hijriyah yang digunakan oleh Islam untuk menghitung
waktu-waktu ibadah memiliki cara-cara perhitungan yang berkadar ilmiah tinggi.
Sebab perjalanan waktu benar-benar diperhitungkan dengan perjalanan benda-benda
langit. Karena bobot ilmiah yang tinggi dari perhitungan tahun hijriyah ini,
maka perbedaan yang terjadi mestinya melahirkan sikap ilmiah, yakni saling
menghormati terhadap perbedaan yang ada. Dengan begitu ikhtilaf tidak akan
menjadi bencana, tetapi sebaliknya menjadi rahmat.
(Dimuat Majalah TABLIGH Vol 05/No. 06/2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar