Selasa, 03 Juni 2014

Muhammadiyah dan Bulan Baru Hijriyah



Oleh : Drs. Syamsul Hidayat, M.Ag (pengajar Univ. Muhammadiyah Surakarta)

     Masalah penentuan awal bulan hijriyah ketika akan memasuki bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah hampir selalu menimbulkan masalah yang cukup menyita perhatian umat Islam di Indonesia. Yang kerap menjadi pertanyaan adalah apakah Idul Fitri bisa kompak bersama atau akan berbeda lagi? Mengapa bisa berbeda? Apakah tidak bisa dipersatukan? Dan seterusnya.
     Dalam perkembangan pemikirannya, Muhammadiyah memiliki dinamika dalam mempersepsikan penetapan ‘bulan baru’ hijriyah, terutama penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Ketika Kitab Shiyam ditetapkan pada Muktamar Tarjih ke-28 di Medan tahun 1939, Majelis Tarjih menetapkan bahwa memasuki dan mengakhiri puasa Ramadhan didasarkan pada: (1) melihat hilal (rukyah), (2) kesaksian orang yang adil, (3) istikmal, yakni menggenapkan Sya’ban/Ramadhan 30 hari, dan (4) Hisab. Dari keempat cara tersebut, terkandung makna bahwa Majelis Tarjih menerima metode rukyah dan hisab untuk menetapkan awal bulan. Poin (1) dan (3) hakikatnya satu yakni rukyatul hilal, sedangkan poin keempat adalah hisab. Namun dari penjelasan di atas, terlihat bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih mengutamakan rukyah daripada hisab.
     Kecenderungan tersebut diperkuat oleh putusan Tarjih yang menyatakan: “Apabila ahli hisab menetapkan bulan belum tanggal (adamu wujudil hilal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan (wujuduhu ma’a adami imkanir rukyah), padahal kenyataannya ada orang-orang yang melihat pada malam itu pula, maka manakah yang mu’tabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa yang mu’tabar adalah rukyah.(lihat HPT, cet 1983: hal 291)
     Setelah ilmu hisab berkembang pesat dan banyak kader Muhammadiyah yang menekuni ilmu hisab-astronomi ini, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa hisab memiliki kedudukan yang sama dengan rukyah. Bahkan dalam prakteknya hisab memiliki kepastian yang tinggi dan dapat ditetapkan jauh-jauh hari sebelum masuknya bulan baru tersebut, seperti tingkat kepastian yang dimiliki oleh para ahli ilmu hisab dalam memperkirakan terjadinya gerhana bulan dan matahari.
Perkembangan Hisab Muhammadiyah
     Adapun hisab yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah hisab hakiki, yakni perhitungan gerak dan posisi matahari dan bulan yang sebenarnya dan setepat-tepatnya. Dalam perkembangannya, kriteria hisab Muhammadiyah mengalami beberapa kali perubahan, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Susiknan Azhari, pakar hisab-falakiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, sebagai berikut :
     Pada masa KH. Ahmad Dahlan, hisab digunakan sebagai patokan untuk menetapkan masuknya tanggal/bulan baru dengan kriteria imkanur rukyah. Yakni hilal sudah wujud dengan ketinggian yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Pilihan pada imkanur rukyah dipandang paling tepat karena metode dengan kriteria tersebut mempertemukan ketetapan syar’i dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     Metode dan kriteria tersebut bertahan hingga tahun 1937. Kemudian dikoreksi oleh Majelis Tarjih karena dipandang memiliki kelemahan, diantaranya adalah kriteria imkanur rukyah tidak memiliki standar yang disepakati atau yang bisa dibakukan. Maka para ulama Tarjih mengambil kriteria baru dalam hisab, yakni hisab hakiki dengan kriteria ijtima’ qablal ghurub. Yakni apabila ijtima’ terjadi sebelum terbenamnya matahari (maghrib), maka esok harinya sudah masuk tanggal baru, karena pada dasarnya terjadinya ijtima’ adalah batas akhir dari suatu bulan, dan sesudah itu adalah bulan baru. Tetapi penilaian ijtima’ akan benar-benar menjadi titik akhir bulan berjalan dengan titik awal bulan baru bila terjadi sebelum ghurub.
     Kriteria ijtima’ qablal ghurub dipandang kurang memiliki pijakan syar’i, terutama dikaitkan dengan hadis rukyah, sehingga Majelis Tarjih menetapkan untuk kembali kepada kaidah imkanur rukyah, karena dipandang lebih dekat dengan nash-nash hadits tentang rukyah. Disamping itu imkanur rukyah sebenarnya menempati posisi titik temu antara sins (kriteria akademik masuknya bulan baru) dengan kriteria syari’ah dimanamasuknya tanggal baru ditandai dengan visibilitas hilal.
     Kriteria ini pun kemudian mengalami problem ketika beberapa pihak keluar dari kesepakatan mengenai kriteria imkanur rukyah, sehingga standarisasi kriterianya menjadi tidak jelas. Dalam hal ini Majelis Tarjih memandang, berarti hisab hakiki dengan imkanur rukyah belum ideal untuk dihgunakan sebagai manhaj dalam menetapkan masuknya bulan baru. Untuk itu, Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Wiradesa tahun 1972 mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah Majelis Tarjih agar berusaha mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan untuk kesempurnaan penentuan hisab dan mematangkan masalah tersebut untuk kemudian dibawa ke Muktamar Tarjih yang akan datang. Sebelum ada ketentuan hisab yang pasti, penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah dipercayakan kepada PP Muhammadiyah.
Wujudul Hilal dan Matla’ Wilayatul Hukmi
     Pembahasan mengenai hisab-rukyah ini baru dapat dilaksanakan pada Munas Tarjih ke 25 di Jakarta, yang mengkhususkan kepada masalah penetapan awal bulan dan Matla’. Munas menetapkan beberapa keputusan sebagai berikut:
     Pertama, hisab hakiki dan rukyatul hilal sebagai pedoman penetapan awal bulan Qamariyah memiliki kedudukan yang sama. Kedua, hisab hakiki yang digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah adalah hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Ketiga, berlakunya penetapan tanggal baru tersebut berlaku pada matla’ yang didasarkan pada wilayatul hukmi, yaitu kesatuan wilayah negara Indonesia.
     Keputusan di atas diperkuat dalam Munas Tarjih ke 26 di Padang tahun 2003. Dengan merujuk kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, Munas memutuskan bahwa:
(1) Hisab mempunyai kedudukan yang sama dengan rukyah sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, didasarkan pada firman Allah SWT:
“Barangsiapa diantara kamu menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah berpuasa pada bulan itu...” (Al-Baqarah : 185)
“Dialah yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah (orbit-orbit)-nya bagi perjalanan bulan itu, supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.” (Yunus :5)
Kemudian didasarkan juga pada hadits dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah menjelaskan tentang Ramadhan, beliau bersabda: “Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan jangan pula berbuka sehingga kamu melihatnya. Bila pandanganmu terhalang (tidak dapat melihat), maka perkirakanlah (perhitungkanlah).” (HR. Bukhari-Muslim)
(2) Hisab, sebagaimana pada poin satu, yang digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal, didasarkan pada firman Allah SWT: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” (Ar-Rahman : 5) dan firman-Nya: “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yasiin : 39-40)
(3) Matla’ yang dipergunakan oleh Muhammadiyah adalah yang didasarkan pada kesatuan wilayatul hukmi (Indonesia) yang disandarkan pada dalil-dalil berikut:
Pertama, hadits Kuraib: Dari Kuraib, sesungguhnya Ummul Fadhl binti Haris mengutusnya menemui Muawiyah di negeri Syam. Ia berkata: Saya tiba di negeri Syam dan melaksanakan hajatnya. Dan masuklah bulan Ramadhan sementara aku ada di negeri Syam tersebut. Saya melihat hilal pada malam Jumat, selanjutnya saya kembali ke Madinah akhir bulan Ramadhan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dengan menyebut tentang hilal. Ia bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Saya menjawab: Kami melihat hilal pada malam hari Jumat. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang melihatnya? Maka jawab Kuraib: “Benar” dan orang lain juga melihatnya. Karenanya Muawiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah bin Abbas berkata: Tetapi kamu melihat hilal pada malam Sabtu, karenanya kami terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri. Saya (Kuraib) bertanya:”Apakah kamu (Ibnu Abbas) tidak cukup mengikuti rukyahnya Mu’awiyah (di Syam) dan puasanya?” ibnu Abbas menjawab: “Tidak. Demikianlah yang Rasulullkah perintahkan kepada kami”. (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dan Daruquthni). Kedua,keumuman hadits Ibnu Umar di atas.
(4) Apabila garis batas wujudul hilal pada awal bulan tersebut membelah wilayah Indonesia, maka kewenangan menetapkan awal bulan diserahkan kepada PP Muhammadiyah.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun sampai saat ini belum dapat dipersatukan atau diseragamkan baik perbedaan antar sesama hisab maupun antara hisab dan rukyah, sebenarnya masing-masing memiliki hujjah yang kuat dan masing-masing saling menegasikan, sebagaimana qaidah fiqhiyyah yang menyatakan: “La yunqadhul ijtihad bil ijtihad” (ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lain).
Mereka yang menyatakan bahwa hisab adalah bid’ah mungkin juga memiliki hujjah dan dalil syar’i, meskipun pendapat ini masih perlu diperdebatkan. Demikian juga yang berpendapat hisab hanyalah wasilah menuju rukyah, sehingga kepastian terakhir adalah pada rukyah.
Sementara Muhammadiyah menggunakan Hisab Hakiki Wujudul Hilal karena memandang hisab dan rukyah memiliki kedudukan yang sama dan hisab dipandang memiliki kepastian yang lebih kuat daripada rukyah. Disamping itu hal ini juga didasarkan kepada hujjah dan dalil syar’i yang kuat.
Semuanya itu justru menunjukkan bahwa penanggalan hijriyah yang digunakan oleh Islam untuk menghitung waktu-waktu ibadah memiliki cara-cara perhitungan yang berkadar ilmiah tinggi. Sebab perjalanan waktu benar-benar diperhitungkan dengan perjalanan benda-benda langit. Karena bobot ilmiah yang tinggi dari perhitungan tahun hijriyah ini, maka perbedaan yang terjadi mestinya melahirkan sikap ilmiah, yakni saling menghormati terhadap perbedaan yang ada. Dengan begitu ikhtilaf tidak akan menjadi bencana, tetapi sebaliknya menjadi rahmat.
(Dimuat Majalah TABLIGH  Vol 05/No. 06/2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar