(dimuat dalam majalah TABLIGH No. 23/X
Ramadhan-Syawwal 1434 H)
Setiap tahun umat Islam di
seluruh dunia dihadapkan pada ketidakpastian tentang permulaan Ramadhan, Hari
Raya Idul Fitri dan Hari Arafah. Kerapkali terjadi perbedaan dalam penentuan.
Problematika ini terjadi karena mayoritas umat Islam masih bersikukuh
menggunakan rukyat faktual (al-rukyah
al-mujarradah, actually seeing the moon) daripada menggunakan hisab atau
perhitungan astronomis.
Perbedaan yang kerap terjadi
dalam menetapkan awal Ramadhan dan dua hari raya, sesungguhnya telah
menyadarkan umat Islam untuk menyatukan kalender Islam. Tapi, menurut Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA., jalan
menuju penyatuan kalender global Islam terpadu masih panjang. Dalam tulisannya,
Dari Istanbul Kembali ke Istanbul:
Mengintip Jalan Panjang Upaya Penyatuan penanggalan Islam, Syamsul Anwar
menjelaskan bahwa dalam berbagai diskusi baik di tingkat lokal maupun global,
termasuk dalam pertemuan persiapan untuk Konferensi Internasional Rukyat Hilal
(Preparation Meeting for International
Crescent Observation Conference) yang diselenggarakan atas inisiatif Badan
Urusan Agama (Presidency of Religious
Affairs) tanggal 18-19 Faberuari 2013, di kota Istanbul-Turki, konsep
penampakan (keharusan hilal terlihat) untuk memulai puasa Ramadhan dan Idul
Fitri tampak semacam syarat yang tidak bisa ditawar lagi di kalangan banyak
pihak. Hal itu karena adanya hadits Nabi SAW., yang memerintahkan melakukan rukyat
dan melarang berpuasa atau merayakan Idul Fitri sebelum terjadi rukyat.
Sementara rukyat itu sendiri terbatas cakupannya di muka bumi, sehingga tidak
bisa meliputi seluruh umat Islam di seluruh dunia pada hari yang sama.
Sebagai contoh, Ramadhan 1434 H
tahun ini. Syamsul Anwar menjelaskan di kota pago Pago (Samoa Amerika) tinggi
(toposentrik titik pusat) bulan pada hari Senin, 08 Juli 2013 adalah 80
46’ 12”. Konjungsi (ijtimak) terjadi hari Ahad pukul 21:32:41 waktu setempat.
Di kota Papeete (Polinesia Perancis) tinggi (toposentrik titik pusat) bulan
pada hari Senin, 08 Juli 2013 adalah 80 17’ 06”. Konjungsi (ijtimak)
terjadi hari Ahad pukul 22:07:53 waktu setempat. Jadi di kedua kota di Samudra
Pasifik itu hilal Ramadhan diperkirakan dapat dilihat dengan mata telanjang
pada sore Senin 08 Juli 2013 apabila langit cerah. Bahkan di ujung selatan
jazirah Amerika Latin hilal diperhitungkan dapat dilihat dengan teropong pada
hari Senin, 08 Juli 2013 apabila cuaca baik. Oleh karena itu 1 Ramadhan 1434 H
akan jatuh pada hari Selasa 09 Juli 2013. Beberapa organisasi di Amerika dan
Eropa telah memutuskan demikian.
Sementara di kawasan timur bumi
seperti Indonesia, ketinggian hilal sangat rendah sehingga tidak mungkin
dirukyat di Yogyakarta mislanya, tinggi bulan (piringan atas) pada hari Senin
08 Juli 2013 adalah 0,750. Bahkan di sebagian wilayah Indonesia
bulan sudah dibawah ufuk saat matahari terbenam. Oleh karenanya 1 Ramadhan di
Indonesia, berdasarkan rukyat, jatuh pada hari Rabu, 10 Juli 2013, sebagaimana
telah ditetapkan dalam sidang isbat beberapa waktu lalu.
Jadi, rukyat tidak bisa
menyatukan awal bulan qamariah termasuk Ramadhan dan Syawal. Apabila ini
terjadi dengan bulan Dzuhijjah, maka akan timbul kekacauan pelaksanaan puasa
sunnah Arafah. Meskipun demikian, banyak kaum Muslimin masih bertahan pada
sistem rukyat yang karenanya sampai hari ini peradaban Islam tidak memiliki
satu kalender qamariah global ter-unifikasi. Bahkan ada satu buku yang memuat
judul tentang 40 Dalil pembatalan Hisab, walaupun argumen-argumennya berasal
dari diskursus ratusan tahun lampau yang belum menyaksiskan kemajuan
spektakuler kajian astronomi. Jadi umat islam amsih terperangkap dalam
ketegangan teks dan konteks. Teks secara harfiah memerintahkan rukyat,
sementara konteks keberadaan kaum Muslimin telah meliputi seluruh muka bumi
yang tidak mungkin dicakup seluruhnya oleh rukyat pada satu hari yang sama.
Karena itu perlu kontekstualisasi pemahaman hadits-hadits rukyat.
Pertemuan Istanbul-Turki 2013
pun juga belum dapat membebaskan diri sepenuhnya dari ketegangan teks dan
konteks. Hal ini nampak jelas dari judl pertemuan itu, yaitu pertemuan
Persiapan untuk Konferensi Internasional Rukyat Hilal. Tampaknya tarik-menarik
antara hisab dan rukyat masih sangat kuat sehingga karena itu tidak dapat
membuat satu ketegasan sikap, dan tidak dapat membuat hasil putusan yang
membawa langkah maju dari yang sudah dicapai sejauh ini. Putusan pertemuan ini
hanya berhasil “mencatat” putusan dan rekomendasi terdahulu. Salah satu
diantara putusan terdahulu itu adalah putusan Akademi Fikih Islam (OKI) yang
menegaskan wajib menggunakan rukyat untuk menetapkan awal bulan qamariah dan
dapat dibantu dengan observatorium. Ini berbeda dengan Temu Pakar II tahun 2008
di Maroko. Temu Pakar II ini berani mengambil keputusan bahwa tidak mungkin
menyatukan penanggalan Islam secara global tanpa memegangi hisab. Kemudian Temu
Pakar II ini juga berhasil merumuskan enam syarat kalender qamariah global
islam dan menetapkan empat rancangan kalender global Islam untuk diuji selama
satu abad ke depan.
Beberapa syarat kalender Islam,
diantaranya yaitu Kalender Islam harus didasarkan kepada bulan qamariah dimana
durasinya tidak lebih dari 30 hari dan tidak kurang dari 29 hari; kalender
Islam harus merupakan kalender terpadu dengan penyatuan hari-hari dalam minggu
secara global, mengingat pemenuhan syarat ini akan menjamin sifat
internasionalnya yang diinginkan; kalender Islam tidak boleh menjadikan
sekelompok orang Muslim di suatu tempat di muka bumi memasuki bulan baru sebelum
kelahiran hilalnya; Kalender islam tidak boleh menjadikan sekelompok orang
Muslim di suatu tempat di muka bumi memulai bulan baru sebelum yakin terjadinya
imkanu rukyat hilal di suatu tempat di muka bumi; dan Kalender islam tidak
boleh menjadikan sekelompok orang Muslim di suatu tempat di muka bumi belum
memasuki bulan baru sementara hilal bulan tersebut telah terpampang secara
jelas di ufuk mereka.
Keempat kalender yang diuji itu
adalah kalender wujudul hilal dengan
titik acu kota mulia Mekkah, kalender ijtimak sebelum fajar di titik M dan N,
kalender ijtimak sebelum pukul 12:00 WU, dan kalender ijtimak sebelum pukul
12:00 waktu Mekkah.
Pada tulisan lainnya, Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif: Inikah
Pilihan Kita? Syamsul Anwar menjelaskan bahwa mereka yang bertahan pada
tradisi rukyat memang tidak dapat disalahkan karena Nabi SAW., sendiri
menegaskan “Berpuasalah kamu karena
melihat hilal dan beridul fitrilah karena melihatnya.” Menurut kaidah ushul
fiqih, “Pada asasnya perintah itu menunjukkan wajib.” Jadi sesuai dengan kaidah
itu, melakukan rukyat itu wajib. Namun yang harus disadari adalah bahwa
penerapan tafsir harfiah dan tekstual seperti ini menjadi problematika pada
masa kini. Di zaman Nabi SAW., memang penggunaan rukyat tidak ada masalah
karena umat Islam hanya ada di kawasan dunia yang kecil, yaitu Jazirah Arab.
Terlihat dan tidak terlihatnya hilal di kawasan itu tidak berdampak kepada
kawasan lain karena di kawasan lain itu belum ada umat Islam. Berbeda dengan
zaman sekarang, umat Islam telah berada di seluruh penjuru bola bumi yang bulat
ini. Penerapan rukyat akan membawa dampak tidak dapat menyatukan umat Islam
dalam memasuki awal bulan qamariah baru lantaran hambatan alam itu sendiri.
Oleh karena itu, tafsir harfiah dan tekstual yang menjadi hambatan penyatuan
kalender Islam itu harus kita lampaui sebagaimana disuarakan oleh para ulama
pembaharu semisal Muhammad rasyid Ridha, Ahmad Syakir, az-Zarqa’, Yusuf
Qaradhawi dan banyak yang lain.
Menurutnya, ada dua upaya yang
bisa dilakukan dalam rangka kontekstualisasi metode pemahaman hadits-hadits
rukyat yang dapat diambil dari ilmu ushul fiqih. Pertama, analisis kausasi
(taklili), dan Kedua penerapan kaidah fikhiah tentang perubahan hukum.
Analisis kausasi (taklili) maksudnya menggali
illat mengapa rasulullah SAW.,
memerintahkan penggunaan rukyat. Menurut para ulama yang disebutkan di muka,
perintah melakukan rukyat itu adalah perintah yang disertai illat, artinya disertai alasan (kausa)
mengapa perintah itu dikeluarkan. Illat
perintah rukyat itu menurut para ulama tadi, disebutkan dalam hadits Nabi SAW.,
“kami adalah umat yang ummi, belum banyak menguasai baca tulis
dan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, maksudnya terkadang 29 hari dan
terkadang 30 hari.” Jadi illat
perintah rukyat adalah belum adanya penguasaan hisab yang memadai. Menurut
kaidah ushul fiqih, “Hukum itu berlaku menurut ada dan tidaknya illat.” Artinya hukum berlaku, apabila
ada illat-nya, yaitu belum menguasai
pengetahuan hisab, atau hisabnya sendiri belum memadai. Sebaliknya, apabila illat-nya sudah tidak ada, dalam arti
pengetahuan hisab sudah banyak dikuasai apalagi seperti jaman sekarang dimana
kemajuan astronomi sudah sangat spektakuler, maka perintah rukyat dapat
dilampaui dengan memegangi hisab demi mengatasi alam dan memungkinkan pembuatan
kalender unifikatif serta dapat menyusun penanggalan jauh ke muka.
Cara kedua kontekstualisasi
adalah dengan menerapkan kaidah perubahan hukum yang berbunyi, “tidak diingkari
perubahan hukum karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.” Sesuai dengan
kaidah ini hukum dapat berubah. Menurut Syamsul Anwar, hukum itu bisa berubah
apabila dipenuhi empat syarat, yaitu : (1) ada tuntutan untuk berubah, (2)
hukum itu tidak menyangkut masalah ibadah mahdhah, (3) hukum itu bukan
merupakan hukum yang qat’i (final,
tak dapat diubah), dan (4) perubahan baru itu harus ada dasar syar’i-nya juga,
sehingga perubahan itu tidak lain hanyalah perpindahan dari penggunaan suatu
dalil syar’i kepada penggunaan dalil syar’i lainnya.
Perubahan dari rukyat kepada
hisab jelas ada tuntunan untuk itu, ialah kenyataan alam yang tidak
memungkinkan penyatuan awal bulan dengan rukyat dan perlunya mewujudkan
kalender unifikatif Islam yang hanya bisa dilakukan dengan menggunakan hisab.
Menurut para ulama yang disebutkan di atas, rukyat bukanlah ibadah, melainkan
hanya sarana untuk menentukan masuknya bulan qamariah, sehingga bilamana suatu
sarana tidak lagi memadai, maka dapat digunakan sarana lain yang lebih
menyampaikan kepada tujuan. Penggunaan rukyat bukanlah suatu ketentuan qat’i, buktinya banyak ulama yang
mengamalkan hisab. Dalil-dalil penggunaan hisab juga sudah dibahas oleh para
ulama dan tidak ada ruang yang cukup untuk mengemukakannya disini. Dengan
demikian syarat-syarat perubahan hukum dalam kasus rukyat sudah dipenuhi, dan
karenanya perubahan dari penggunaan rukyat kepada penggunaan hisab itu sah
secara syar’i untuk dilakukan.
Sejalan dengan dua tulisan di
atas, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Susiknan Azhari, dalam tulisannya Problem Kalender Islam, menjelaskan
khazanah pemikiran kalender Islam, khususnya di Indonesia, yang dikenal istilah
wujudul hilal dan visibilitas hilal (imkanur rukyat). Pada awal kehadirannya wujudul hilal merupakan sintesa kreatif
atau “jalan tengah” antara ijtimak (qabla
al-ghurub) dan teori visibilitas hilal atau jalan tengah antara hisab murni
dan rukyat murni.
Karena itu,bagi teori wujudul hilal, metode yang dibangun
dalam memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Islam tidak semata-mata
proses terjadinya konjungsi, tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat
matahari terbenam. Dengan kata lain, awal bulan qamariah dimulai bila telah
terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, dan matahari
terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan.
Sementara itu, visibilitas
hilal adalah bangunan teori yang bersumber dari pengalaman subjektif para
pengamat. Sehingga, melahirkan beragam varian, misalnya, teori visibilitas
hilal yang dikembangkan Mabims, Turki (1078), Mohammad Ilyas, Mohammad Syawkat Audah
(Odeh) dan Hamid Mijwal Naimiy. Teori ini menyatakan awal bulan qamariah
dimulai bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, seperti telah terjadi
konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, elongasi, umur bulan,
mukuts dan ketinggian hilal. Ada pertanyaan yang perlu diajukan, mengapa teori
visibilitas hilal lebih populer di lingkungan astronom? Menurut Susiknan
Azhari, para astronom, sesuai dengan era perkembangan awalnya, masih
dipengaruhi oleh pola pikir positivistis-empiris. Meskipun demikian, dalam
hierarki dan klasifikasi hisab, wujudul
hilal dan visibilitas hilal masuk satu rumpun, yaitu hisab ijtimak dan
posisi hilal di atas ufuk.
Sekilas tampak jelas bahwa
keduanya bersumber dari pemahaman dan pengalaman serta memiliki tingkat kepastian
yang sama. Namun dalam perjalanannya, implementasi visibilitas hilal di
Indonesia tidak sesuai konsep awal yang dirumuskan. Dalam prakteknya,
visibilitas hilal hanya digunakan sebagai pemandu observasi hilal, khususnya
dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal.
Mohammad Syawkat Audah (Oodeh)
menyatakan, saat ini dunia Islam yang memiliki kalender Islam yang mapan adalah
Turki dan Malaysia. Keduanya secara konsisten menggunakan teori visibilitas
hilal sejak Muharram hingga Dzulhijjah tanpa menunggu hasil observasi.
Pernyataan ini dalam konteks Indonesia mengisyaratkan bahwa wujudul hilal lebih mapan dan memberi
kepastian dalam struktur kalender Islam dibandingkan visibilitas hilal.
Artinya, visibilitas hilal yang digunakan Pemerintah Indonesia belum diakui di
tingkat global. Sebab, dalam prakteknya untuk menentukan awal bulan qamariah,
khususnya awal Ramadhan dan Syawal, masih harus menunggu hasil observasi.
Dengan kata lin, visibilitas hilal yang digunakan tidak sesuai makna asal.
Ketiadaan kalender yang mapan selama hampir 1500 tahun peradaban umat Islam
menjadi potret buram penanggalan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar