Rabu, 04 Juni 2014

POTRET BURAM PENANGGALAN ISLAM


(dimuat dalam majalah TABLIGH No. 23/X Ramadhan-Syawwal 1434 H)

Setiap tahun umat Islam di seluruh dunia dihadapkan pada ketidakpastian tentang permulaan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Arafah. Kerapkali terjadi perbedaan dalam penentuan. Problematika ini terjadi karena mayoritas umat Islam masih bersikukuh menggunakan rukyat faktual (al-rukyah al-mujarradah, actually seeing the moon) daripada menggunakan hisab atau perhitungan astronomis.
Perbedaan yang kerap terjadi dalam menetapkan awal Ramadhan dan dua hari raya, sesungguhnya telah menyadarkan umat Islam untuk menyatukan kalender Islam. Tapi, menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA., jalan menuju penyatuan kalender global Islam terpadu masih panjang. Dalam tulisannya, Dari Istanbul Kembali ke Istanbul: Mengintip Jalan Panjang Upaya Penyatuan penanggalan Islam, Syamsul Anwar menjelaskan bahwa dalam berbagai diskusi baik di tingkat lokal maupun global, termasuk dalam pertemuan persiapan untuk Konferensi Internasional Rukyat Hilal (Preparation Meeting for International Crescent Observation Conference) yang diselenggarakan atas inisiatif Badan Urusan Agama (Presidency of Religious Affairs) tanggal 18-19 Faberuari 2013, di kota Istanbul-Turki, konsep penampakan (keharusan hilal terlihat) untuk memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri tampak semacam syarat yang tidak bisa ditawar lagi di kalangan banyak pihak. Hal itu karena adanya hadits Nabi SAW., yang memerintahkan melakukan rukyat dan melarang berpuasa atau merayakan Idul Fitri sebelum terjadi rukyat. Sementara rukyat itu sendiri terbatas cakupannya di muka bumi, sehingga tidak bisa meliputi seluruh umat Islam di seluruh dunia pada hari yang sama.
Sebagai contoh, Ramadhan 1434 H tahun ini. Syamsul Anwar menjelaskan di kota pago Pago (Samoa Amerika) tinggi (toposentrik titik pusat) bulan pada hari Senin, 08 Juli 2013 adalah 80 46’ 12”. Konjungsi (ijtimak) terjadi hari Ahad pukul 21:32:41 waktu setempat. Di kota Papeete (Polinesia Perancis) tinggi (toposentrik titik pusat) bulan pada hari Senin, 08 Juli 2013 adalah 80 17’ 06”. Konjungsi (ijtimak) terjadi hari Ahad pukul 22:07:53 waktu setempat. Jadi di kedua kota di Samudra Pasifik itu hilal Ramadhan diperkirakan dapat dilihat dengan mata telanjang pada sore Senin 08 Juli 2013 apabila langit cerah. Bahkan di ujung selatan jazirah Amerika Latin hilal diperhitungkan dapat dilihat dengan teropong pada hari Senin, 08 Juli 2013 apabila cuaca baik. Oleh karena itu 1 Ramadhan 1434 H akan jatuh pada hari Selasa 09 Juli 2013. Beberapa organisasi di Amerika dan Eropa telah memutuskan demikian.
Sementara di kawasan timur bumi seperti Indonesia, ketinggian hilal sangat rendah sehingga tidak mungkin dirukyat di Yogyakarta mislanya, tinggi bulan (piringan atas) pada hari Senin 08 Juli 2013 adalah 0,750. Bahkan di sebagian wilayah Indonesia bulan sudah dibawah ufuk saat matahari terbenam. Oleh karenanya 1 Ramadhan di Indonesia, berdasarkan rukyat, jatuh pada hari Rabu, 10 Juli 2013, sebagaimana telah ditetapkan dalam sidang isbat beberapa waktu lalu.
Jadi, rukyat tidak bisa menyatukan awal bulan qamariah termasuk Ramadhan dan Syawal. Apabila ini terjadi dengan bulan Dzuhijjah, maka akan timbul kekacauan pelaksanaan puasa sunnah Arafah. Meskipun demikian, banyak kaum Muslimin masih bertahan pada sistem rukyat yang karenanya sampai hari ini peradaban Islam tidak memiliki satu kalender qamariah global ter-unifikasi. Bahkan ada satu buku yang memuat judul tentang 40 Dalil pembatalan Hisab, walaupun argumen-argumennya berasal dari diskursus ratusan tahun lampau yang belum menyaksiskan kemajuan spektakuler kajian astronomi. Jadi umat islam amsih terperangkap dalam ketegangan teks dan konteks. Teks secara harfiah memerintahkan rukyat, sementara konteks keberadaan kaum Muslimin telah meliputi seluruh muka bumi yang tidak mungkin dicakup seluruhnya oleh rukyat pada satu hari yang sama. Karena itu perlu kontekstualisasi pemahaman hadits-hadits rukyat.
Pertemuan Istanbul-Turki 2013 pun juga belum dapat membebaskan diri sepenuhnya dari ketegangan teks dan konteks. Hal ini nampak jelas dari judl pertemuan itu, yaitu pertemuan Persiapan untuk Konferensi Internasional Rukyat Hilal. Tampaknya tarik-menarik antara hisab dan rukyat masih sangat kuat sehingga karena itu tidak dapat membuat satu ketegasan sikap, dan tidak dapat membuat hasil putusan yang membawa langkah maju dari yang sudah dicapai sejauh ini. Putusan pertemuan ini hanya berhasil “mencatat” putusan dan rekomendasi terdahulu. Salah satu diantara putusan terdahulu itu adalah putusan Akademi Fikih Islam (OKI) yang menegaskan wajib menggunakan rukyat untuk menetapkan awal bulan qamariah dan dapat dibantu dengan observatorium. Ini berbeda dengan Temu Pakar II tahun 2008 di Maroko. Temu Pakar II ini berani mengambil keputusan bahwa tidak mungkin menyatukan penanggalan Islam secara global tanpa memegangi hisab. Kemudian Temu Pakar II ini juga berhasil merumuskan enam syarat kalender qamariah global islam dan menetapkan empat rancangan kalender global Islam untuk diuji selama satu abad ke depan.
Beberapa syarat kalender Islam, diantaranya yaitu Kalender Islam harus didasarkan kepada bulan qamariah dimana durasinya tidak lebih dari 30 hari dan tidak kurang dari 29 hari; kalender Islam harus merupakan kalender terpadu dengan penyatuan hari-hari dalam minggu secara global, mengingat pemenuhan syarat ini akan menjamin sifat internasionalnya yang diinginkan; kalender Islam tidak boleh menjadikan sekelompok orang Muslim di suatu tempat di muka bumi memasuki bulan baru sebelum kelahiran hilalnya; Kalender islam tidak boleh menjadikan sekelompok orang Muslim di suatu tempat di muka bumi memulai bulan baru sebelum yakin terjadinya imkanu rukyat hilal di suatu tempat di muka bumi; dan Kalender islam tidak boleh menjadikan sekelompok orang Muslim di suatu tempat di muka bumi belum memasuki bulan baru sementara hilal bulan tersebut telah terpampang secara jelas di ufuk mereka.
Keempat kalender yang diuji itu adalah kalender wujudul hilal dengan titik acu kota mulia Mekkah, kalender ijtimak sebelum fajar di titik M dan N, kalender ijtimak sebelum pukul 12:00 WU, dan kalender ijtimak sebelum pukul 12:00 waktu Mekkah.
Pada tulisan lainnya, Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif: Inikah Pilihan Kita? Syamsul Anwar menjelaskan bahwa mereka yang bertahan pada tradisi rukyat memang tidak dapat disalahkan karena Nabi SAW., sendiri menegaskan “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridul fitrilah karena melihatnya.” Menurut kaidah ushul fiqih, “Pada asasnya perintah itu menunjukkan wajib.” Jadi sesuai dengan kaidah itu, melakukan rukyat itu wajib. Namun yang harus disadari adalah bahwa penerapan tafsir harfiah dan tekstual seperti ini menjadi problematika pada masa kini. Di zaman Nabi SAW., memang penggunaan rukyat tidak ada masalah karena umat Islam hanya ada di kawasan dunia yang kecil, yaitu Jazirah Arab. Terlihat dan tidak terlihatnya hilal di kawasan itu tidak berdampak kepada kawasan lain karena di kawasan lain itu belum ada umat Islam. Berbeda dengan zaman sekarang, umat Islam telah berada di seluruh penjuru bola bumi yang bulat ini. Penerapan rukyat akan membawa dampak tidak dapat menyatukan umat Islam dalam memasuki awal bulan qamariah baru lantaran hambatan alam itu sendiri. Oleh karena itu, tafsir harfiah dan tekstual yang menjadi hambatan penyatuan kalender Islam itu harus kita lampaui sebagaimana disuarakan oleh para ulama pembaharu semisal Muhammad rasyid Ridha, Ahmad Syakir, az-Zarqa’, Yusuf Qaradhawi dan banyak yang lain.
Menurutnya, ada dua upaya yang bisa dilakukan dalam rangka kontekstualisasi metode pemahaman hadits-hadits rukyat yang dapat diambil dari ilmu ushul fiqih. Pertama, analisis kausasi (taklili), dan Kedua penerapan kaidah fikhiah tentang perubahan hukum. Analisis kausasi (taklili) maksudnya menggali illat mengapa rasulullah SAW., memerintahkan penggunaan rukyat. Menurut para ulama yang disebutkan di muka, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah yang disertai illat, artinya disertai alasan (kausa) mengapa perintah itu dikeluarkan. Illat perintah rukyat itu menurut para ulama tadi, disebutkan dalam hadits Nabi SAW., “kami adalah umat yang ummi, belum banyak menguasai baca tulis dan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Jadi illat perintah rukyat adalah belum adanya penguasaan hisab yang memadai. Menurut kaidah ushul fiqih, “Hukum itu berlaku menurut ada dan tidaknya illat.” Artinya hukum berlaku, apabila ada illat-nya, yaitu belum menguasai pengetahuan hisab, atau hisabnya sendiri belum memadai. Sebaliknya, apabila illat-nya sudah tidak ada, dalam arti pengetahuan hisab sudah banyak dikuasai apalagi seperti jaman sekarang dimana kemajuan astronomi sudah sangat spektakuler, maka perintah rukyat dapat dilampaui dengan memegangi hisab demi mengatasi alam dan memungkinkan pembuatan kalender unifikatif serta dapat menyusun penanggalan jauh ke muka.
Cara kedua kontekstualisasi adalah dengan menerapkan kaidah perubahan hukum yang berbunyi, “tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.” Sesuai dengan kaidah ini hukum dapat berubah. Menurut Syamsul Anwar, hukum itu bisa berubah apabila dipenuhi empat syarat, yaitu : (1) ada tuntutan untuk berubah, (2) hukum itu tidak menyangkut masalah ibadah mahdhah, (3) hukum itu bukan merupakan hukum yang qat’i (final, tak dapat diubah), dan (4) perubahan baru itu harus ada dasar syar’i-nya juga, sehingga perubahan itu tidak lain hanyalah perpindahan dari penggunaan suatu dalil syar’i kepada penggunaan dalil syar’i lainnya.
Perubahan dari rukyat kepada hisab jelas ada tuntunan untuk itu, ialah kenyataan alam yang tidak memungkinkan penyatuan awal bulan dengan rukyat dan perlunya mewujudkan kalender unifikatif Islam yang hanya bisa dilakukan dengan menggunakan hisab. Menurut para ulama yang disebutkan di atas, rukyat bukanlah ibadah, melainkan hanya sarana untuk menentukan masuknya bulan qamariah, sehingga bilamana suatu sarana tidak lagi memadai, maka dapat digunakan sarana lain yang lebih menyampaikan kepada tujuan. Penggunaan rukyat bukanlah suatu ketentuan qat’i, buktinya banyak ulama yang mengamalkan hisab. Dalil-dalil penggunaan hisab juga sudah dibahas oleh para ulama dan tidak ada ruang yang cukup untuk mengemukakannya disini. Dengan demikian syarat-syarat perubahan hukum dalam kasus rukyat sudah dipenuhi, dan karenanya perubahan dari penggunaan rukyat kepada penggunaan hisab itu sah secara syar’i untuk dilakukan.
Sejalan dengan dua tulisan di atas, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Susiknan Azhari, dalam tulisannya Problem Kalender Islam, menjelaskan khazanah pemikiran kalender Islam, khususnya di Indonesia, yang dikenal istilah wujudul hilal dan visibilitas hilal (imkanur rukyat). Pada awal kehadirannya wujudul hilal merupakan sintesa kreatif atau “jalan tengah” antara ijtimak (qabla al-ghurub) dan teori visibilitas hilal atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni.
Karena itu,bagi teori wujudul hilal, metode yang dibangun dalam memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Islam tidak semata-mata proses terjadinya konjungsi, tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat matahari terbenam. Dengan kata lain, awal bulan qamariah dimulai bila telah terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, dan matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan.
Sementara itu, visibilitas hilal adalah bangunan teori yang bersumber dari pengalaman subjektif para pengamat. Sehingga, melahirkan beragam varian, misalnya, teori visibilitas hilal yang dikembangkan Mabims, Turki (1078), Mohammad Ilyas, Mohammad Syawkat Audah (Odeh) dan Hamid Mijwal Naimiy. Teori ini menyatakan awal bulan qamariah dimulai bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, seperti telah terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, elongasi, umur bulan, mukuts dan ketinggian hilal. Ada pertanyaan yang perlu diajukan, mengapa teori visibilitas hilal lebih populer di lingkungan astronom? Menurut Susiknan Azhari, para astronom, sesuai dengan era perkembangan awalnya, masih dipengaruhi oleh pola pikir positivistis-empiris. Meskipun demikian, dalam hierarki dan klasifikasi hisab, wujudul hilal dan visibilitas hilal masuk satu rumpun, yaitu hisab ijtimak dan posisi hilal di atas ufuk.
Sekilas tampak jelas bahwa keduanya bersumber dari pemahaman dan pengalaman serta memiliki tingkat kepastian yang sama. Namun dalam perjalanannya, implementasi visibilitas hilal di Indonesia tidak sesuai konsep awal yang dirumuskan. Dalam prakteknya, visibilitas hilal hanya digunakan sebagai pemandu observasi hilal, khususnya dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal.
Mohammad Syawkat Audah (Oodeh) menyatakan, saat ini dunia Islam yang memiliki kalender Islam yang mapan adalah Turki dan Malaysia. Keduanya secara konsisten menggunakan teori visibilitas hilal sejak Muharram hingga Dzulhijjah tanpa menunggu hasil observasi. Pernyataan ini dalam konteks Indonesia mengisyaratkan bahwa wujudul hilal lebih mapan dan memberi kepastian dalam struktur kalender Islam dibandingkan visibilitas hilal. Artinya, visibilitas hilal yang digunakan Pemerintah Indonesia belum diakui di tingkat global. Sebab, dalam prakteknya untuk menentukan awal bulan qamariah, khususnya awal Ramadhan dan Syawal, masih harus menunggu hasil observasi. Dengan kata lin, visibilitas hilal yang digunakan tidak sesuai makna asal. Ketiadaan kalender yang mapan selama hampir 1500 tahun peradaban umat Islam menjadi potret buram penanggalan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar