Mungkin
kita sangat hafal dengan hadist Nabi SAW : “Thalabul
‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin” Maknanya : mencari ilmu itu wajib
bagi setiap muslim. Karena kita muslim, maka kita terkena kewajiban itu;
berdosalah orang muslim yang tidak mencari ilmu.
Sampai
disini jelas? Ternayata belum. Coba tanyakan lagi: ilmu apa yang wajib dicari?
Apakah semua ilmu harus dipelajari? Sampai mana batas suatu ilmu wajib dicari?
Apakah kita bersekolah, lalu kuliah, rajin baca koran, majalah atau internet
sudah memenuhi kewajiban mencari ilmu? Juga, yang tidak mudah dijawab: “Apakah
yang disebut sebagai ilmu? Dan apakah kita sudah menjalankan perintah Nabi SAW
untuk mencari ilmu itu?”
Biasanya,
kita pun sangat paham, bahwa orang-orang yang berilmu akan ditinggikan
derajatnya oleh Allah SWT. (QS. Al-Maidah : 11). Rasulullah SAW juga bersabda
:”Barangsiapa menempuh jalan yang padanya
dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR.
Muslim). “Sesungguhnya malaikat itu
membentangkan sayapnya pada orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa
yang ia lakukan.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban dan Hakim).
Imam
Syafi’i, dalam salah satu syairnya menyatakan: “Wa man lam yadzuq murrat-ta’allumi saa’atan; tajarra’a dzullal jahli
thuula hayaatihi” (Brangsiapa yang tidak pernah merasakan pahitnya mencari
ilmu - walaupun sesaat - maka ia akan terjerumus dalam kebodohan yang hina
sepanjang hayat).
Kita
kaum Muslim, juga sangat tidak asing dengan hadits Nabi SAW, bahwa mencari ilmu
itu sepanjang hayat, minal mahdi ilal-lahdi. Tapi, kini patut kita
cermati beredarnya penyakit kronis bernama “sekolahisme” dan
“linierisme”.”Sekolahisme” memandang bersekolah sama dengan mencari ilmu; tidak
bersekolah berarti tidak cari ilmu; selesai sekolah atau kuliah, selesai pula
upaya cari ilmu.
Mungkin
tidak sedikit pula yang berpikir, setelah jadi sarjana dan bekerja, maka
selesai pula kewajiban mencari ilmu. Yang wajib hanya cari uang. Pulang kerja
baca berita, cari hiburan, dan sesekali nonton berita. Tak terpikir olehnya
untuk mengerahkan segenap energinya, berpikir untuk belajar ilmu aqidah lebih
mendalam, memahami tafsir Al-Qur’an, mencari ilmu-ilmu yang diperlukan untuk
bisa mengenal Tuhannya; memahami aturan-aturan-Nya dan memiliki ilmu untuk
meraih hidup bahagia (sa’adah/happiness) dengan cara mensucikan jiwa (tazkiyyatun
nafs).
Allah
SWT berfirman : “Qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man dassaaha.” Sungguh
beruntung orang yang mensucikan jiwanya, Dan sungguh celaka orang yang
mengotori jiwanya. Jadi, tiap muslim harusnya punya ilmu “jiwa”, bagaimana cara
mensucikannya, dan apa saja yang mengotori jiwanya! Jika tidak punya ilmu
tentang itu, berdosalah ia. Mungkin sarjana psikologi modern pun tak paham
tentang “jiwa(nafs)”, sehingga terkena penyakit “jiwa” seperti “gila
dunia”, “gila kuasa”, “gila harta”, “iri hati”, “takabbur”, “riya” dan
sebagainya.
Patutlah
waspada pada penyakit “sekolahisme” ini. Sekolah itu baik. Tapi, menganggap
cari ilmu hanya dengan sekolah formal, itu keliru. Kadang, dalam suatu seminar,
disodorkanlah lembaran CV tentang riwayat pendidikan; mulai SD, SMP, SMA, S-1
sampai S-3. Seolah-olah, kita menjalani pendidikan hanya sampai di situ saja.
Apakah setelah S-3 kita tidak dididik lagi? Apakah sampai di situ saja usaha
mencari ilmu? Bukankah Nabi memerintahkan kita cari ilmu sampai mati? Itulah
penyakit sekolahisme!
Penyakit
“linierisme” menyebabkan seseorang berpikir, bahwa ia hanya perlu cari ilmu di
bidangnya saja. Sarjana fisika tidak mau belajar ilmu Al-Qur-an, Ilmu Fiqih,
Ilmu Akhirat, atau sejarah Islam. Sebab, pikirnya itu bukan bidang dia. Pakar
Fisika hanya mau berkutat seumur hidupnya dengan soal Fisika. Tak terpikir olehnya
untuk mendalami ilmu-ilmu tentang aliran dan pemikiran-pemikiran sesat di era
modern. Sebab, ia sangka, ilmu itu bidangnya ustad atau kyai, bukan kewajiban
setiap Muslim untuk memahaminya (fardhu ‘ain).
Nabi
Muhammad SAW pernah menyampaikan sebuah pesan penting: “Manusia itu adalah
barang tambang, laksana emas dan perak. Orang-orang terbaik di antara mereka di
masa Jahiliyah adalah orang-orang terbaik juga di masa Islam, apabila mereka
faqih fid-din.” (Muttafaq ‘alaih). Juga, sabda Nabi SAW: “Barangsiapa
yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya pandai mengenai
agama (yufaqqih-hu fid-din) dan ia diilhami petunjuk-Nya.” (Muttafaq
‘alaih).
Jadi,
kata Rasulullah SAW, manusia itu laksana barang tambang, seperti emas dan
perak. Allah memang menciptakan manusia dengan kualitas dasar dan potensi yang
sama. Ada yang dikaruniai kecerdasan super tinggi seperti Imam Syafi’i,
al-Ghazali, Ibn Ruyd, Ibn Sina, BJ Habibie dan sebagainya. Ada juga yang diberi
potensi kecerdasan sedang-sedang saja. Ada juga yang diberi amanah ringan,
berupa tingkat kecerdasan yang sangat rendah. Dengan perbedaan potensi itulah
roda kehidupan manusia berjalan.
Karena
itulah, orang yang dikaruniai potensi kecerdasan tinggi memiliki tanggung jawab
keilmuan yang lebih tinggi dari orang lain dengan hadits Rasulullah SAW, bahwa
manusia adalah laksana barang tambang. Manusia yang kualitasnya emas, di masa
jahiliyah, akan menjadi emas juga di masa Islam. Dengan syarat, dia faham agama
(mutafaqih fid-din). Sebab, orang yang faham agama adalah salah satu
ciri tanda kebaikan yang dimilikinya. Maka, sepatutnya – sesuai konsep keilmuan
Islam yang integratif dan tauhidik – dalam diri seorang “Habibie” dan
manusia-manusia super cerdas lain, terkumpul keahlian dalam bidang sains dan teknologi
sekaligus pakar dalam Tafsir al-Qur’an, Hukum Islam, Pemikiran Islam, Sejarah
Islam dan sebagainya.
Sejarah
telah membuktikannya! Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar