Kamis, 07 Agustus 2014

Sekolahisme dan Linierisme

Oleh : Dr. Adian Husaini (peneliti INSISTS-Institute fot the Study of Islamic Thought and Civilization)




Mungkin kita sangat hafal dengan hadist Nabi SAW : “Thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin” Maknanya : mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Karena kita muslim, maka kita terkena kewajiban itu; berdosalah orang muslim yang tidak mencari ilmu.
Sampai disini jelas? Ternayata belum. Coba tanyakan lagi: ilmu apa yang wajib dicari? Apakah semua ilmu harus dipelajari? Sampai mana batas suatu ilmu wajib dicari? Apakah kita bersekolah, lalu kuliah, rajin baca koran, majalah atau internet sudah memenuhi kewajiban mencari ilmu? Juga, yang tidak mudah dijawab: “Apakah yang disebut sebagai ilmu? Dan apakah kita sudah menjalankan perintah Nabi SAW untuk mencari ilmu itu?”
Biasanya, kita pun sangat paham, bahwa orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. (QS. Al-Maidah : 11). Rasulullah SAW juga bersabda :”Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR. Muslim). “Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya pada orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang ia lakukan.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban dan Hakim).
Imam Syafi’i, dalam salah satu syairnya menyatakan: “Wa man lam yadzuq murrat-ta’allumi saa’atan; tajarra’a dzullal jahli thuula hayaatihi” (Brangsiapa yang tidak pernah merasakan pahitnya mencari ilmu - walaupun sesaat - maka ia akan terjerumus dalam kebodohan yang hina sepanjang hayat).
Kita kaum Muslim, juga sangat tidak asing dengan hadits Nabi SAW, bahwa mencari ilmu itu sepanjang hayat, minal mahdi ilal-lahdi. Tapi, kini patut kita cermati beredarnya penyakit kronis bernama “sekolahisme” dan “linierisme”.”Sekolahisme” memandang bersekolah sama dengan mencari ilmu; tidak bersekolah berarti tidak cari ilmu; selesai sekolah atau kuliah, selesai pula upaya cari ilmu.
Mungkin tidak sedikit pula yang berpikir, setelah jadi sarjana dan bekerja, maka selesai pula kewajiban mencari ilmu. Yang wajib hanya cari uang. Pulang kerja baca berita, cari hiburan, dan sesekali nonton berita. Tak terpikir olehnya untuk mengerahkan segenap energinya, berpikir untuk belajar ilmu aqidah lebih mendalam, memahami tafsir Al-Qur’an, mencari ilmu-ilmu yang diperlukan untuk bisa mengenal Tuhannya; memahami aturan-aturan-Nya dan memiliki ilmu untuk meraih hidup bahagia (sa’adah/happiness) dengan cara mensucikan jiwa (tazkiyyatun nafs).
Allah SWT berfirman : “Qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man dassaaha.” Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, Dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya. Jadi, tiap muslim harusnya punya ilmu “jiwa”, bagaimana cara mensucikannya, dan apa saja yang mengotori jiwanya! Jika tidak punya ilmu tentang itu, berdosalah ia. Mungkin sarjana psikologi modern pun tak paham tentang “jiwa(nafs)”, sehingga terkena penyakit “jiwa” seperti “gila dunia”, “gila kuasa”, “gila harta”, “iri hati”, “takabbur”, “riya” dan sebagainya.
Patutlah waspada pada penyakit “sekolahisme” ini. Sekolah itu baik. Tapi, menganggap cari ilmu hanya dengan sekolah formal, itu keliru. Kadang, dalam suatu seminar, disodorkanlah lembaran CV tentang riwayat pendidikan; mulai SD, SMP, SMA, S-1 sampai S-3. Seolah-olah, kita menjalani pendidikan hanya sampai di situ saja. Apakah setelah S-3 kita tidak dididik lagi? Apakah sampai di situ saja usaha mencari ilmu? Bukankah Nabi memerintahkan kita cari ilmu sampai mati? Itulah penyakit sekolahisme!
Penyakit “linierisme” menyebabkan seseorang berpikir, bahwa ia hanya perlu cari ilmu di bidangnya saja. Sarjana fisika tidak mau belajar ilmu Al-Qur-an, Ilmu Fiqih, Ilmu Akhirat, atau sejarah Islam. Sebab, pikirnya itu bukan bidang dia. Pakar Fisika hanya mau berkutat seumur hidupnya dengan soal Fisika. Tak terpikir olehnya untuk mendalami ilmu-ilmu tentang aliran dan pemikiran-pemikiran sesat di era modern. Sebab, ia sangka, ilmu itu bidangnya ustad atau kyai, bukan kewajiban setiap Muslim untuk memahaminya (fardhu ‘ain).
Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan sebuah pesan penting: “Manusia itu adalah barang tambang, laksana emas dan perak. Orang-orang terbaik di antara mereka di masa Jahiliyah adalah orang-orang terbaik juga di masa Islam, apabila mereka faqih fid-din.” (Muttafaq ‘alaih). Juga, sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya pandai mengenai agama (yufaqqih-hu fid-din) dan ia diilhami petunjuk-Nya.” (Muttafaq ‘alaih).
Jadi, kata Rasulullah SAW, manusia itu laksana barang tambang, seperti emas dan perak. Allah memang menciptakan manusia dengan kualitas dasar dan potensi yang sama. Ada yang dikaruniai kecerdasan super tinggi seperti Imam Syafi’i, al-Ghazali, Ibn Ruyd, Ibn Sina, BJ Habibie dan sebagainya. Ada juga yang diberi potensi kecerdasan sedang-sedang saja. Ada juga yang diberi amanah ringan, berupa tingkat kecerdasan yang sangat rendah. Dengan perbedaan potensi itulah roda kehidupan manusia berjalan.
Karena itulah, orang yang dikaruniai potensi kecerdasan tinggi memiliki tanggung jawab keilmuan yang lebih tinggi dari orang lain dengan hadits Rasulullah SAW, bahwa manusia adalah laksana barang tambang. Manusia yang kualitasnya emas, di masa jahiliyah, akan menjadi emas juga di masa Islam. Dengan syarat, dia faham agama (mutafaqih fid-din). Sebab, orang yang faham agama adalah salah satu ciri tanda kebaikan yang dimilikinya. Maka, sepatutnya – sesuai konsep keilmuan Islam yang integratif dan tauhidik – dalam diri seorang “Habibie” dan manusia-manusia super cerdas lain, terkumpul keahlian dalam bidang sains dan teknologi sekaligus pakar dalam Tafsir al-Qur’an, Hukum Islam, Pemikiran Islam, Sejarah Islam dan sebagainya.
Sejarah telah membuktikannya! Wallahu a’lam bish-shawab.

(dimuat dalam Al-Falah Edisi 311/ Februari 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar