M. Muchlas Abror
Dakwah secara harfiyah berarti mengajak, memanggil, menyeru atau mengundang. Siapa yang diajak? Tiada lain ialah manusia. Diajak kepada apa? Tentu kepada kebaikan, bukan kepada sebaliknya. Karena itu, kita dapat memahami bila dakwah diartikan mengajak, memanggil, menyeru, atau mengundang manusia untuk berbuat yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah yang munkar (kejahatan). Dakwah dapat pula kita artikan mengubah manusia dari satu situasi ke situasi lain yang lebih baik, dalam segala segi kehidupan.
Setiap muslim dan muslimah berkewajiban melaksanakan tugas dakwah. Sebaliknya, dalam melaksanakan tugas ini sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, dan bidang masing-masing. Berdakwah bila menggunakan kelebihan positif masing-masing, hasilnya lebih baik. Tentu tidak demikian halnya bila sebaliknya. Sadarilah bahwa berdakwah merupakan tugas baik dan mulia. Tidak ada tugas yang lebih baik dan mulia daripada berdakwah. Apalagi dakwah adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.
Dakwah tidak mesti berpidato. Dakwah tidak harus ditampilkan dalam bentuk ceramah. Dakwah tidak selamanya bil-lisan. Di masyarakat memang yang sering terlihat atau kebanyakan dakwah disampaikan dengan pidato atau ceramah dan semacamnya. Tetapi yang jelas bahwa pidato bukanlah satu-satunya cara. Berpidato hanyalah salah satu cara untuk menyampaikan dakwah. Karena itu, dakwah tidak dapat dibatasi dengan dakwah bil-lisan. Sebab, masih ada pula cara lainnya. Misalnya, da’wah bil-hal (dakwah dengan perilaku, perbuatan, keteladanan), da’wah bil-qalam (dakwah dengan pena), atau da’wah bil-kitaabah (dakwah dengan tulisan).
Dakwah dengan pena atau tulisan, kalau kita mau melihat sejak awal perkembangan Islam, sebenarnya telah dirintis dan dimulai oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika masih hayat, beliau telah melakukan dakwah dengan pena dalam bentuk surat yang ditulis oleh skretaris beliau dan distempel yang berisi di dalamnya nama beliau. Surat-surat itu yang antara lain berisi ajakan untuk masuk Islam di antaranya dikirim kepada Najasyi (Raja Habasyah/Abessinia), Kaisar Romawi Timur Heraclius dan Kisra Prsia, serta masih banyak lagi lainnya. Bagaimana hasilnya? Dalam korespondensi itu, ada yang memberi jawaban positif, ada pula yang sebaliknya, disamping ada yang tidak memberi jawaban.
Dalam Al-Qur’an yang berisi 114 surat, dua diantaranya ialah surat al-Qalam dan surat al-‘Alaq. Dalam QS al-Qalam [68] : 1 dinyatakan. “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis”. Ayat itu mengingatkan, termasuk kepada kita, ketika memegang pena agar berhati-hati, tidak semau sendiri. Sebab, ketika pena digerakkan oleh tangan akan melahirkan tulisan, bias baik dan bias pula buruk. Nah, pikirkanlah dulu sebelum menulis. Mengapa? Karena pada ujungnya ada pertanggungjawaban. Jadi, ayat tersebut menjelaskan betapa pentingnya arti dan fungsi tulisan. Sedangkan pada QS. Al-‘Alaq [96] : 1 dan 3, masing-masing pada pangkal ayatnya berisi perintah membaca.
Tulisan yang dihasilkan dari pemikiran yang mendalam telah terbukti dalam sejarah besar pengaruhnya bagi kebangkitan bangsa-bangsa di dunia. Tulisan mendahului, memberi inspirasi, dan kebangkitan mengikuti. Gerakan pembaruan di dunia Islam pun, kalau kita membaca sejarah, didahului pemikiran-pemikiran dalam berbagai buku karya tulis Ibn Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Buku-buku karya mereka menjadi bacaan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Para da’i atau juru dakwah yang memiliki bakat, kecakapan, keahlian dan kemampuan berdakwah dengan pena atau tulisan, maka hendaklah bertekun diri untuk melatih, membina, mengembangkan dan meningkatkannya secara baik. Tulisan, sebagai media dakwah, selanjutnya bias dikirim ke pers (surat kabar, majalah, tabloid, bulletin). Jika pada tahap awal, naskah yang dikirim belum dimuat, janganlah berputus asa. Coba dan cobalah lagi sampai berhasil. Sebab, pihak redaksi meski sudah membaca dan menilainya baik, tetapi ia belum memuatnya mungkin sekadar hendak menguji si pengirim naskah sampai seberapa jauh keseriusan dan keistiqamahannya. Setelah beberapa kali kiriman naskah dimuat, maka suatu waktu ia malah pesan kepadanya minta dikirimi naskah dengan topik tertentu. Naskah tulisan dalam berbagai topik yang telah dimuat di pers, setelah dikelompokkan, suatu waktu dapat diterbitkan menjadi buku. Andaikata tulisan tidak dikirim ke pers pun, tetap bermanfaat bagi dirinya.
Dakwah dengan pena memiliki kelebihan khusus bila dibandingkan dengan dakwah lewat pidato. Dakwah dengan tulisan mempunyai keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan dakwah lewat lisan. Dakwah yang disampaikan dengan lisan atau pidato oleh seorang da’I atau muballigh yang ulung sekalipun meski dapat memikat massa, tetapi suatu waktu akan lepas kembali seolah tiada membekas. Sebab, bagaimanapun ingatan para pendengar terbatas. Segar dalam ingatan ketika yang didengar masih baru, tetapi makin lama makin menjadi berkurang bahkan hilang tiada ingat lagi. Berbeda dengan dakwah dengan pena atau tulisan yang dilaksanakan secara baik oleh penulisnya. Isi tulisan itu akan tetap melekat dan membekas di hati para pembacanya. Dan dapat dibaca kembali tulisan itu sekiranya lupa atau untuk suatu kepentingan, karena ada dokumentasi. Tidak demikian halnya dengan pidato. Kecuali ada rekaman, tetapi ini merupakan persoalan tersendiri.
Muhammadiyah perlu menggerakkan dan menggiatkan warganya untuk berdakwah dengan pena atau tulisan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi.
(dimuat di Suara Muhammadiyah edisi No. 01/Th. Ke-99/Jan 2014)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar