Selasa, 14 Oktober 2014

POLITISI ZUHUD

Nur Cholis Huda


Mengapa orang memilih terjun ke dunia politik? Jawabnya bisa bermacam-macam. Karena panggilan jiwa, ingin menegakkan demokrasi, berjuang untuk rakyat, dorongan ideologi, dan sederet jawaban lagi.
Namun penelitian Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, dalam disertasinya mengungkapkan hal berbeda. Motivasi utama orang menjadi anggota DPR menurutnya didorong 2 hal yaitu kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi. Maka menurut dia, institusi legislatif akan melahirkan kebijakan yang diarahkan secara politik dan ekonomi menguntungkan pribadi, kelompok dan golongan.
Memang motivasi lain juga ada misalnya ingin menegakkan demokrasi dan macam-macam lagi. Tetapi itu motivasi lanjutan, bukan motivasi utama. Artinya kalau kekuasaan dan uang sudah di tangan, barulah berpikir yang lain. Kalau belum tercapai harus dikejar dulu motivasi utama itu.
Maka penelitian Pramono Anung itu seakan membenarkan pernyataan mantan anggota DPRD Surabaya, M. Basuki ,”kalau ingin kaya jadilah politisi”. Artinya menjadi politisi itu jalur cepat menuju kaya. Mungkin juga jalur cepat menuju penjara kalau nasib lagi sial. Terbukti laki-laki atau perempuan sama saja, masuk penjara. Kata ‘BERJUANG’ telah berubah makna menjadi BERas, baJU dan uANG. Karena itu terasa aneh kalau meminta politisi berlaku lurus-lurus saja.
Sedemikian jelekkah dunia politik? Tidak! Pernah ada suatu masa di negri ini dunia politik menjadi dunia terhormat dan anggun. Para politisi muslim saat itu adalah orang-orang ‘sufi’, berorientasi hidup untuk Tuhan. Mereka zuhud, tidak rakus harta, bersih dari korupsi karena sanggup hidup dalam kesederhanaan. Mereka memiliki integritas tinggi dan punya kehormatan diri.
Politisi yang zuhud itu setidaknya bias dilihat pada orang-orang Masyumi. Hati rasa bergetar setiap kali membaca perjalanan hidup mereka. Mereka terpelajar, cerdas, teguh pendirian, tidak rakus harta dan pemeluk agama yang teguh. Ambil contoh kesederhanaan Prawoto Mangkusasmito, orang Muhammadiyah yang menjadi ketua umum Masyumi terakhir. Beliau bersama tokoh PSI suatu hari diundang Bung Karno ke istana.
Yang menarik, dia dating ke istana memakai baju koko dan sarung. Sebelum berangkat anaknya diminta menisik baju kokonya yang berlubang. Dia yang mantan wakil perdana mentri Kabinet Wilopo, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, sarjana hokum lulusan belanda dan ketua umum partai besar tidak rendah diri memakai baju koko tisikan.
Tentang sarung, Bung Karno yang flamboyant (parlente) memang kurang suka. Bung Karno pernah menegur Ki Bagus Hadikusumo, “Ki bagus, karena Indonesia sudah merdeka, sebaiknyalah tuan tidak selalu memakai sarung, pakailah pantalon”, tegur Bung Karno.
Ki Bagus menjawab, “Lha ya to Bung, sebelum tahun 1945 di daerah mana di Indonesia ada orang berpantalon yang berani melawan dan memberontak Belanda? Hanya orang-orang yang memakai basahan (jubbah seperti Diponegoro) dan orang-orang sarungan yang berani melawan”.
Dunia kepartaian sekarang sudah jauh berubah. Semakin memerlukan biaya tinggi, tetapi anehnya tingkat kehormatan cenderung terus turun. Kita tidak minta para politisi memakai baju tisikan seperti Prawoto, atau baju dengan bekas tinta di saku seperti Moh. Natsir. Tetapi cukuplah semangat zuhud yang diwarisi. Kita sungguh rindu pada wakil rakyat yang cerdas sekaligus lurus. Berpandangan ke depan sekaligus tidak serakah, tidak menjadi abdul fulus (hamba uang), dan abdul kursi (gila kedudukan). Disertasi Pramono anung itu agaknya telah menjadi kenyataan.
Tetapi sekarang menjadi politisi zuhud tidak lagi mudah karena semua harus dengan uang. Sosialisasi diri perlu uang.menyapa masyarakat bias mudah jika ada uang. “Sedekah politik” menjelang coblosan juga butuh uang. Saksi di TPS butuh uang. Bagaimana harus zuhud kalau ingin mengembalikan modal besar itu?
Kita yang awam tidak tahu cara mengurai benang ruwet ini. Semua berasal dari partai dan politisi sendiri sejak Orde Baru. Kau yang memulai dan kau yang harus mengakhiri, jangan salahkan rakyat. Pepatah mengatakan : Ikan busuk dimulai dari kepala. Artinya bukan dari ekor,bukan dari bawah melainkan dari atas. Dunia politik sangat menentukan masa depan kita. Sedih kalau didominasi iklim ‘wani piro’. Ingin politisi zuhud? Ah, terasa bagaikan si pungguk merindukan bulan. Entah sampai kapan.

(dimuat di Majalah MATAN edisi 93, April 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar